Sabtu, 28 November 2009

Laporan Kasus : Refluks Vesikoureter (RVU)

Latar Belakang


Refluks vesikoureter (RVU), adalah suatu keadaan berbaliknya aliran cairan urin (retrograde) dari vesika urinaria (VU) ke ureter. RVU merupakan akibat dari suatu kelainan anatomi dan fungsional saluran kemih yang dapat mengakibatkan komplikasi serius pada ginjal. RVU dapat berhubungan dengan infeksi saluran kemih (ISK), hidronefrosis, dan kelainan kongenital pada ginjal dan saluran kemih. RVU diperkirakan terjadi pada 40 % dari pasien-pasien dengan ISK bagian atas. Beberapa ahli yang lain mengatakan bahwa angka kejadian RVU pada pyelonefritis sebanyak 22% sampai 52%. Angka kejadian RVU lebih tinggi pada anak-anak dengan ISK. 1,2

Tujuan dari manajemen terapi pada RVU saat ini, yaitu pertama, mencegah terjadinya episode pielonefritis akut. Kedua, mencegah terjadinya scarr (luka parut) pada ginjal yang berhubungan dengan RVU dan akan mengakibatkan hipertensi dan gagal ginjal di kemudian hari. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan suatu metode diagnostik yang efektif dan aman bagi pasien sehingga dapat digunakan sebagai metode pemantauan dan dapat menilai keberhasilan terapi. Metode pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah voiding cystourethrography (VCUG) dan radionuclear cystourethrography (RNC) yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosa RVU. Sidik ginjal dengan Technetium-99m dimercaptosuccinic acid (99mTc-DMSA) digunakan untuk menilai adanya kelainan parenkim ginjal yang disebakan oleh RVU. Ultrasonography (USG) digunakan untuk menilai ukuran ginjal. RVU harus tetap dipantau setiap tahun dengan menggunakan USG dan sistografi (RNC dan VCUG) sampai refluks sembuh spontan. 1,2


Presentasi Kasus

Seorang anak perempuan berusia 9 tahun, pada awal tahun 2007 memiliki riwayat demam yang tidak diketahui penyebabnya selama satu tahun sebelum didiagnosa sebagai suatu ISK. Dari alloanamnesa diketahui sebelum sakit pasien sering menahan keinginan untuk Buang Air Kecil (BAK). Setiap kali pasien menahan BAK pasien biasanya demam. Pada bulan Desember 2007, diperoleh hasil pemeriksaan VCUG menunjukan adanya suatu RVU kiri grade 3. Dari kultur cairan urin juga ditemukan pertumbuhan kuman Escherichia coli. Selama 1 tahun pasien mendapatkan terapi antibiotik peroral. Pada Januari 2009 dilakukan VCUG kembali dengan hasil pemeriksaan telah terjadi perburukan RVU kiri menjadi grade 4. Namun, setelah satu tahun pasien mendapatkan terapi antibiotik, terlihat perbaikan klinis pada pasien.

Pasien direncanakan untuk dilakukan operasi. Sebelum operasi dilakukan pemeriksaan renografi dan GFR terlebih dahulu untuk mengetahui fungsi ginjal, dan dilakukan pula pemeriksaan Indirect Radionuclida Cystography (IRC) dengan hasil menunjukan bahwa kedua ginjal masih berfungsi dengan fungsi ginjal kiri kurang dibandingkan ginjal kanan dengan gambaran obstruksi parsial kiri disertai refluks vesikoureter kiri (Uncorrected Glomerular Filtration Rate (GFR) kiri = 29.37 dan Uncorrected GFR kanan = 38.58). Hasil pemeriksaan USG tidak ditemukan adanya kelainan pada ginjal dan saluran kemih.

Operasi tidak dilakukan dengan alasan fungsi kedua ginjal masih cukup baik dan keadaan klinis yang membaik. Para klinisi masih mengharapkan terjadinya resolusi spontan dari RVU pada pasien ini. Pasien masih mendapatkan terapi antibiotik preventif. Pasien tidak memiliki keluhan hingga saat ini.


Diskusi

RVU terjadi akibat adanya kegagalan dari fungsi katup satu-arah yang terdapat di antara pertemuan vesikoureter. Kegagalan fungsi katup ini terjadi karena panjang saluran ureter pada submukosa muskulus detrusor kurang panjang atau penyokong ototnya tidak cukup. Rasio panjang-diameter dari saluran ureter submukosa yang ideal adalah 5:1. Akibat dari tidak sempurnanya fungsi katup tersebut dapat terjadi refluks cairan urin dari VU ke ureter bahkan bila kegagalan katup lebih berat refluks akan mencapai ginjal. Refluks cairan urin tersebut mengakibatkan masuknya bakteri dari saluran kemih bagian bawah ke saluran kemih bagian atas yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya pielonefritis. Hal ini akan menyebabkan kerusakan ginjal. Refluks yang steril dari kontaminasi bakteri, kecil kemungkinannya dapat merusak parenkim ginjal. Namun pada suatu percobaan pada hewan, refluks cairan steril juga dapat merusak parenkim ginjal sehingga dapat pula menyebabkan terjadinya scarr. Hal ini belum dapat diketahui secara pasti bila dapat terjadi pada manusia. 1,2


Etiologi

Etiologi dari RVU dibagi menjadi 2 jenis, yaitu primer dan sekunder. Dikatakan primer bila terdapat kelainan pada mekanisme katup satu-arah vesikoureter, sedangkan dikatakan sekunder bila terdapat perubahan faktor-faktor anatomi dan fungsi dari mekanisme katup satu-arah tersebut. 1,2

Penyebab primer dari RVU biasanya adalah kelainan kongenital. Contoh dari kelainan kongenital tersebut adalah saluran ureter submukosa yang pendek, dan orifisium ureter yang berada terlalu lateral. Penyembuhan spontan dari kelainan kongenital ini sangat besar kemungkinan terjadi pada RVU yang unilateral dan derajat refluks yang rendah. Sehingga biasanya penyembuhan dari penyebab primer adalah dengan cara mengkoreksi kelainan melalui operasi anti-refluks. 3,4

Penyebab sekunder yang paling sering adalah sistitis atau ISK. Namun dapat juga disebabkan oleh operasi atau pemasangan double J-stent. Kelainan fungsional atau struktural dari saluran kemih bagian bawah juga dapat menjadi penyebab sekunder dari RVU. Obstruksi saluran kemih bagian bawah yang disebabkan kelainan kongenital atau didapat seperti katup uretral, prostat hipertrofi, atau striktur uretra, atau neurological conditions yang dapat menyebabkan tekanan intravesika meningkat serta dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal bila penyebabnya tidak dikoreksi. 3,4

Pada pasien ini penyebab dari RVU adalah ISK. Kemungkinan penyebabnya dari kebiasaan pasien yang sering menahan BAK sehingga tekanan intravesika menjadi tinggi menyebabkan katup satu-arah pada sambungan ureterovesika tidak berfungsi dengan baik. Hal ini yang menyebabkan terjadinya RVU dan ISK bagian atas.


Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari pasien-pasien RVU dapat dibagi menjadi 2 golongan. Pertama adalah pada neonatus yang terdiagnosa pada saat prenatal. Dan yang kedua, adalah pada anak-anak dengan gejala klinis ISK. 1,2

Gambaran klinis RVU dapat terlihat pada masa prenatal, dimana hidronefrosis dan dilatasi saluran kemih bagian atas dapat terlihat dari pemeriksaan USG pada kehamilan tua (lebih dari sama dengan 28 minggu). Kurang lebih 10 % dari neonatus yang terdiagnosa yang memiliki hidronefrosis dan dilatasi saluran kemih bagian atas prenatal akan ditemukan memiliki refluks postnatal. Pada neonatus ini dapat hadir tanpa ada keluhan klinis, dan hanya dapat terdiagnosa melalui pemeriksaan rutin. 1,2,3,4

Anak-anak yang berusia lebih tua dapat ditemukan dengan gejala yang tidak khas untuk ISK seperti muntah, diare, anoreksia, dan letargi. Urgensi, frekuensi, disuria, nokturnal dan enuresis diurnal merupakan gejala khas yang sering muncul pada anak-anak dengan ISK. Anak-anak juga dapat mengeluhkan nyeri perut disertai nyeri tekan pada daerah pinggang. Bila keluhan disertai dengan demam maka akan menambah kecurigaan terjadinya pielonefritis, namun hal ini belum cukup untuk dignosa dari pielonefritis. Sehingga untuk diagnosa pielonefritis dibutuhkan suatu metoda pemeriksaan lebih lanjut lagi. Gejala lain yang berhubungan ISK adalah gagal tumbuh dan gangguan saluran cerna. 1,2,3,4

Pada pasien ini ditemukan keluhan klinis yang khas untuk ISK, namun dari alloanamnesa pasien mengeluh sering demam bila pasien menahan BAK. Tidak ada keluhan nyeri perut disertai nyeri tekan pada daerah pinggang. Tidak juga ditemukan suatu kelainan gangguan saluran cerna. Pertumbuhan dan perkembangan pasien masih sesuai dengan umur pasien.



Tabel.1 Gejala klinis dari RVU 5




Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosa pasti dari ISK tergantung pada hasil pemeriksaan kultur cairan urin. Cara pengambilan spesimen cairan urin yang standar adalah melalui aspirasi suprapubik. Namun prosedur ini jarang dilakukan di dalam praktek klinis sehari-hari. Cara pengambilan spesimen yang lain adalah kateterisasi uretral yang dapat memberikan spesifisitas yang lebih baik, hasil akan bermakna secara klinis bila ditemukan lebih dari 1.000 Colony-Forming Unit (CFU)/mL. Pada anak-anak yang sudah pandai berkemih sendiri dapat dilakukan pengambilan spesimen cairan urin aliran-tengah (mid-stream) untuk kultur. Hasil akan bermakna apabila ditemukan 100.000 CFU/mL dari spesimen tersebut. Cara alternatif lainnya adalah dengan pengambilan cairan urin dari kantong urin yang paling sering dikerjakan pada bayi. Apabila hasil yang ditemukan kurang lebih 10 % dari 50.000 CFU/mL yang tumbuh pada spesimen tersebut, maka hasil pemeriksan tidak ada hubungannya dengan infeksi yang terjadi. Hasil kultur yang negatif sangat membantu, karena walaupun pengambilan cairan urin dari kantong urin dapat memberikan hasil positif-palsu, hasil negatif-palsu jarang sekali terjadi. Hasil yang positif memerlukan pemeriksaan lebih lanjut lagi dengan kateterisasi ureteral, sehingga cara kantung urin sudah banyak ditinggalkan. 1,2

Walaupun jumlah leukosit, kadar C-reactive protein (CRP) serum, dan tes darah lainnya sering digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis, namun tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membedakan antara sistitis dengan pielonefritis. Pemeriksaan laoratorium lainnya termasuk pemeriksaan kimia darah untuk data dasar fungsi ginjal. Hitung darah lengkap dapat membantu klinisi menilai respon terapi. Urinalisa juga dapat membantu dalam menentukan adanya proteinuria, yang dapat menunjukkan suatu kerusakan pada ginjal. 1,2

Dari hasil pemeriksaan laboratorium pasien ini diperoleh hasil urinalisa ditemukan banyak leukosit dan bakteri yang mendukung adanya suatu ISK. Dari hasil pemeriksaan hematologi juga didapat peningkatan kadar sel darah putih dalam darah sehingga mendukung adanya suatu proses infeksi pada pasien ini. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan kultur darah dengan hasil kultur untuk bakteri Salmonella negatif, dan juga dilakukan pemeriksaan kultur cairan urin dengan hasil positif untuk pertumbuhan bakteri Escherichia coli. 1,2


Tabel.2 Pemeriksaan kultur urin






Pencitraan Diagnostik 1,2

Pencitraan adalah dasar dari diagnosa dan manajemen RVU. Standar untuk mencapai tujuan tersebut meliputi VCUG, walaupun masih banyak pemeriksaan yang lain yang dapat membantu menegakkan diagnosa RVU.

Indikasi pencitraan untuk menentukan kemungkinan adanya RVU dengan ISK adalah pada anak yang berusia kurang dari 5 tahun, semua kasus dengan demam pada ISK, dan semua kasus ISK pada anak laki-laki.

Beberapa ahli kini menggunakan pendekatan algoritma “top-down” untuk ISK pada anak-anak. Pada algoritma ini, bila seorang anak didiagnosa sebagai demam ISK maka pencitraan pertama yang dilakukan adalah sidik ginjal 99mTc-DMSA. Tujuannya adalah untuk menilai adanya bukti keterlibatan dari ginjal, scarr ginjal, atau kedua-duanya. Hasil negatif dari pemeriksaan ini bermakna secara klinis untuk tiadanya RVU, sehingga dapat menyingkirkan kebutuhan akan pemeriksaan VCUG. Namun, jika positif, maka VCUG direkomendasikan untuk dikerjakan.

RVU merupakan fenomena yang dapat muncul sewaktu-waktu tergantung dari keadaan pasien. Faktor yang mempengaruhi timbulnya suatu RVU diantaranya adalah status hidrasi pasien, volume VU, tekanan VU, dan teknik pemeriksaan. Volume VU dipengaruhi oleh ukuran tubuh pasien, usia pasien, status psikis, dan iritabilitas VU. Iritabilitas VU dapat disebabkan oleh suatu proses infeksi pada VU. Hal ini dapat memberikan perbedaan hasil pada pemeriksaan sistografi dengan radiologi maupun kedokteran nuklir.

Pada penelitian Aysun Sukan, et al yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan hasil dari 11 anak-anak penderita RVU, 6 anak terdeteksi positif memiliki RVU dengan menggunakan DRC dengan 5 anak diantaranya memiliki hasil pemeriksaan sidik ginjal DMSA positif. Sedangkan VCUG dapat mendeteksi 5 anak positif RVU dengan 3 anak diantaranya positif terhadap hasil pemeriksaan sidik ginjal DMSA. Dari hasil penelitian tersebut dapat terlihat bahwa pemeriksaan dengan DRC lebih sensitif bila dibandingkan dengan VCUG. Namun bila ditambahkan faktor usia, maka DRC akan terlihat lebih sensitif bila pemeriksaan sistografi dilakukan pada anak usia lebih muda (≤ 48 bulan). Sedangkan VCUG akan lebih sensitif bila dilakukan pada anak dengan usia yang lebih tua (49 – 156 bulan). Secara umum tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistic dari penelitian tersebut.10

Pasien ini dilakukan pemeriksaan VCUG atas indikasi demam dengan ISK. Dari hasil pemeriksaan didapatkan RVU kiri grade 4 dengan sistitis kronis dan ureter yang melebar. Hal ini menjadi dasar dari diagnosa RVU pada pasien ini. Selanjutnya pasien juga menjalani pemeriksaan renografi dan IRC untuk menilai fungsi ginjal dan mengkonfirmasi adanya RVU. Dari pemeriksaan renografi diperoleh hasil kedua ginjal masih berfungsi dengan fungsi ginjal kiri yang sudah kurang dan disertai dengan RVU kiri. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan sidik ginjal dengan DMSA karena metode pemeriksaan ini belum tersedia di Indonesia. Dari allo-anamnesa hasil pemeriksaan USG pada pasien ini masih dalam batas normal dan tidak ditemuakan adanya kelainan pada ginjal.



Teknik Radiologi

Kriteria standar dalam mendiagnosa RVU adalah menggunakan pemeriksaan VCUG. Pemeriksaan ini memberikan informasi anatomi secara detil dan memberikan derajat (grade) dari RVU. Sistem penderajatan yang umumnya digunakan adalah International Classification System, suatu kombinasi sistem yang sebelumnya digunakan di Eropa dan Amerika Serikat.




Gambar.1 Penderajatan RVU berdasarkan International Reflux System. Gambar mengilustrasikan 5 derajat (I-V) RVU. Derajat I menggambarkan refluks pada ureter. Derajat II menggambarkan refluks ke ureter dan system pelvikaliks yang tidak berdilatasi. Derajat III menggambarkan refluks pada ureter dan system pelvikaliks yang berdilatasi ringan. Sudut forniks dan gambaran papila masih terlihat jelas. Derajat IV menggambarkan refluks pada ureter yang bertorsi dan system pelvikaliks yang berdilatasi. Sudut forniks menjadi tumpul sementara gambaran papilla masih terlihat. Derajat V menggambarkan refluks pada ureter yang bertorsi dan jelas berdilatasi dan system pelvikaliks yang berdilatasi dengan jelas. Sudut forniks maupun papilla sudah tidak jelas lagi.

VCUG sebaiknya dilakukan setelah anak sembuh dari ISK. Apabila VCUG dilakukan selama episode sistitis akut, maka dapat memberikan hasil yang tidak akurat, hal ini karena adanya paralisis dan kelemahan dari otot ureter oleh endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri. Informasi tambahan dari VCUG adalah dapat memberikan pencitraan uretra yang berguna pada laki-laki untuk penilaian dari katup uretra posterior. VCUG dapat memberikan informasi mengenai kapasitas dan proses pengosongan VU serta dapat memberikan gambaran adanya obstruksi dari luar saluran kemih bagian bawah, seperti karena trabekula VU atau divertikulum. 1,2,3,4


Teknik Sistografi Radionuklida

RNC dengan memasukkan radiofarmaka 99mTc-pertechnetate ke dalam VU dan pencitraan dengan suatu kamera gamma adalah suatu prosedur pemeriksaan yang sangat sensitif untuk RVU. Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah penggunaan dosis radiasi yang lebih rendah dan dapat menambah sensitivitas karena dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih panjang untuk pengawasan. Paparan radiasi dari RNC adalah sekitar 10 % dari paparan VCUG dengan peralatan digital modern dan hanya sekitar 1 % dari VCUG dengan peralatan fluroskopi konvensional. Kelemahan utama adalah informasi anatomi yang kurang baik. Refluks grade I kurang terdeteksi dengan baik oleh pemeriksaan RNC karena ureter distal biasanya tertutup oleh VU. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan dalam mendeteksi RVU akan meningkat bila menggunakan fase pengisian VU yang multiple. Beberapa klinisi melakukan pemeriksaan RNC sebagai pemeriksaan deteksi awal pada perempuan kemudian dilakukan pemeriksaan standar VCUG apabila ditemukan RVU. Klinisi yang lain menggunakan VCUG untuk pemeriksaan diagnostik awal dan kemudian menggunakan RNC sebagai pemeriksaan pemantauan. Di bagian Kedokteran Nuklir RSHS Bandung derajat penilaian dari pemeriksaan RNC dapat dibagi menjadi tiga derajat penilaian, yaitu : 6
  1. Derajat ringan (derajat I dan II) tampak radioaktivitas di distal ureter.
  2. Derajar sedang (derajat III) tampak radioaktivitas di sistem pelvokalises.
  3. Derajat berat (derajat IV dan V) tampak radioaktivitas berlebih terlihat di sistem koleksi ginjal.
Radiofarmasi utama yang sering digunakan pada sidik ginjal untuk pielonefritis dan RVU adalah 99mTc-DMSA. Zat ini diserap secara cepat oleh sel-sel tubulus ginjal proksimal dan merupakan indikator yang baik untuk fungsi parenkim ginjal. Daerah yang terjadi peradangan akut atau scarr tidak akan menangkap radiofarmasi dan akan memberikan gambaran spot dingin pada pencitraan. Sidik DMSA memiliki 2 prinsip. Pertama, DMSA digunakan untuk mengenali dan mengawasi scar pada ginjal. Pasien yang dirawat dengan menggunakan obat-obatan dan memiliki scarr baru dan progresif sering disarankan untuk dilakukan operasi untuk memperbaiki RVU. Untuk alasan ini, beberapa klinisi mengambil sidik DMSA sebagai data dasar pada saat mendiagnosa yang dapat dibanding kan pada sidik berikutnya. DMSA juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik selama episode pielonefritis akut. Single-photon emission computed tomography (SPECT) adalah suatu teknologi evolusi dalam bidang pencitraan yang dapat memberikan resolusi yang lebih tinggi dan lebih akurat dalam mendeteksi scarr pada ginjal.



Ultrasonography (USG)

Kelebihan dari USG adalah dapat melakukan deteksi RVU tanpa radiasi. Pada suatu penelitian menggunakan penyuntikan micro-bubble sebagai suatu zat kontras didapatkan hasil sensitifitas 92 % dan spesifisitas 93 % bila dibandingkan dengan VCUG. Hampir sama dengan RNC, kelemahan utama dari pemeriksaan ini adalah kurangnya informasi anatomi yang tepat, dan metode ini masih digunakan terbatas hanya untuk penelitian saja. Tujuan utama dari USG ginjal adalah untuk menilai ukuran ginjal, ketebalan parenkim, dan dilatasi sistem saluran kemih. USG telah menjadi pemeriksaan deteksi pilihan untuk saluran kemih, menggeserkan penggunaan urografi IV karena tiadanya radiasi yang digunakan, tiadanya risiko dari komplikasi zat kontras, dan merupakan teknik yang tidak invasif. Namun USG tidak dapat mengeluarkan RVU dari diagnosa banding, dan hanya VCUG dan RNC yang dapat melakukannya. Sebagai tambahan, anak-anak dengan hydronephrosis prenatal harus dievaluasi kembali setelah kelahiran. USG dilaksanakan selama 3 hari pertama kelahiran yang dapat memiliki tingkat negatif-palsu yang tinggi, yang dapat disebabkan oleh keadaan dehidrasi selama periode neonatal. 1,2,3,4

Tabel.3 Pemeriksaan pencitraan pada RVU



Manajemen Pengobatan 1,2,3,4

Pengobatan

Pengobatan pada anak-anak dengan RVU bertujuan untuk mencegah infeksi ginjal, kerusakan ginjal, dan komplikasi dari kerusakan pada ginjal. Pilihan pengobatan pada saat ini adalah dengan pengawasan, terapi obat-obatan, dan obat-obatan. Walker, mengatakan prinsip-prinsip berikut ini dalam manajemen pengobatan RVU pada anak-anak adalah sebagai berikut :
  1. Sembuh spontan sering ditemukan pada anak-anak yang berusia muda.
  2. Refluks berat jarang dapat sembuh spontan.
  3. Refluks yang steril pada umumnya tidak mengakibatkan kerusakan pada ginjal.
  4. Profilaksis antibiotik aman diberikan pada anak, dan
  5. Operasi untuk memperbaiki RVU dapat berhasil, bila dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman.
Metode pengawasan jarang dilakukan oleh para klinisi, karena tidak sesuai dengan etika medikolegal terhadap risiko kerusakan ginjal. Para klinisi memberikan terapi profilaksis antibiotik dan telah memberikan hasil yang memuaskan. Penyembuhan spontan dari RVU sering dijumpai dan tergantung dari derajat RVU yang terjadi. Hampir 90% dari derajat I, 80% dari derajat II, 70% dari derajat III, 60% dari derajat IV akan sembuh dalam 5 tahun sejak munculnya RVU.

Terapi awal dari RVU dengan ISK adalah terapi pendukung dan pemberian dini dari antibiotik yang tepat. Pemberian antibiotik ini penting untuk pencegahan terbentuknya scar pada ginjal dengan pielonefritis. Pemberian antibiotik profilaksis harus dimulai sejak anak sembuh dari ISK dan dilanjutkan hingga paling tidak terlihat adanya RVU, apabila tidak ditemukan RVU maka antibiotik profilaksis dihentikan. Antibiotik profilaksis dilanjutkan hingga RVU sembuh, atau diperbaiki dengan operasi, atau usia anak telah dirasa cukup untuk dihentikan pemberian antibiotiknya. Pada umumnya anak-anak dengan RVU derajat I-IV, dan pada beberapa yang derajat V, diberikan pemberian antibiotik profilaksis dengan dosis ¼ dari dosis antibiotik terapi dan dilakukan pemantauan teratur. Pemeriksaan rutin yang perlu dilakukan adalah USG dan VCUG, atau RNC setiap 12-18 bulan. Jika pada pemeriksaan rutin ini tidak ditemukan adanya RVU, maka pemberian antibiotik dapat dihentikan.

Pada pasien ini diberikan terapi antibiotik preventif setelah ISK-nya berhasil diatasi dengan pemberian antibiotik terapi. Terapi antibiotik diberikan satu kali sehari. Dan setelah satu tahun diberikan terapi antibiotik profilaksis tidak ada lagi keluhan demam pada pasien.

Operasi

Keputusan untuk melakukan operasi anti-refluks berdasarkan berbagai pertimbangan, tidak hanya medis, tetapi juga sosial, dan emosional dari pasien serta keluarganya. Indikasi untuk operasi adalah sebagai berikut :

  1. Demam ISK yang telah diberikan antibiotik profilaksis.
  2. Refluks berat (derajat V atau derajat IV bilateral)
  3. RVU ringan atau sedang pada anak perempuan yang mulai dewasa setelah beberapa tahun dalam pengawasan.
  4. Kepatuhan yang buruk dalam pengobatan atau pengawasan, dan
  5. Pertumbuhan atau fungsi ginjal yang buruk atau tampak pembentukan scar yang baru.
Secara umum operasi bertujuan untuk rekonstruksi dari sambungan ureterovesika untuk menciptakan panjang yang ideal dari saluran submukosa menuju ureter yang berfungsi sebagai katup satu-arah pada fase pengisian VU.

Walaupun dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa operasi dapat menurunkan angka kejadian dari pielonefritis, akan tetapi penelitian random antibiotik profilaksis versus operasi ditambah antibiotik profilaksis tidak menunjukkan perbedaaan yang bermakna dalam terjadinya ISK tanpa demam, scar pada ginjal, atau gagal ginjal.

Pada pasien ini direncanakan operasi untuk memperbaiki fungsi dari katup satu-arah sambungan vesikoureter berdasarkan dari hasil renografi yang menunjukkan kedua ginjal masih berfungsi dengan baik. Namun hingga saat ini pasien belum menjalani operasi dengan alasan masih menunggu terjadi penyembuhan spontan.


Pemantauan 1,2

Anak-anak dengan terapi pengobatan biasanya diminta untuk kontrol setiap tahun. Evaluasi rutin termasuk urinalisis dan kutur urin, pencitraan, serta pengukuran tekanan darah. Setelah operasi, pasien diminta untuk kontrol 2 – 6 minggu kemudian untuk dilakukan USG atau sidik ginjal untuk mengetahui apakah ada obstruksi saluran kemih bagian atas. Pasien tetap melanjutkan antibiotik profilaksis sampai kontrol yang kedua 3 – 6 bulan pasca-operasi pada saat VCUG atau RNC dilakukan. Jika VCUG atau RNC menunjukkan adanya penyembuhan dari RVU, maka antibiotik profilaksis dihentikan, dan tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan invasif lainnya kecuali anak kembali mengalami demam pada ISK. Beberapa ahli tetap melakukan pengawasan secara periodik untuk pengukuran tekanan darah dan USG ginjal.

Pasien ini menjalani pemantauan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan VCUG. Sebaiknya pada pasien ini dilakukan pemantauan dengan teknik IRC karena tidak memberikan paparan radiasi yang tinggi dan tidak diperlukan kateterisasai ureter yang berisiko terjadinya ISK kembali pada pasien.


Prognosa 1,2

Pada refluks primer yang diterapi antara pengobatan dengan operasi menunjukkan bahwa keduanya memiliki hasil jangka panjang yang baik jika pengawasan dilakukan secara teliti dan kepatuhan dari pasien juga cukup baik. Pada pasien yang diterapi memiliki angaka kejadian untuk pielonefritis yang rendah. Pengobatan anak-anak dengan refluks sekunder menjadi tantangan tersendiri bagi dokter anak dan urologis. Perlu juga diketahui fungsi dari VU secara jelas.

Pasien ini memiliki prognosa duboi at bonam, karena telah dilakukan terapi antibiotik profilaksis. Dan prognosa akan menjadi lebih baik lagi bila operasi telah dilakukan untuk mengkoreksi kegagalan katup satu-arah dari sambungan vesikoreter. Sebaiknya pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan sidik ginjal dengan DMSA untuk mengetahui apakah pada pasien ini memiliki risiko untuk terjadinya hipertensi atau gagal ginjal di kemudian hari.


Simpulan

Diagnosa kerja dari pasien ini adalah RVU kiri grade IV dengan sistitis kronis berdasarkan dari hasil pemeriksaan radiologi VCUG. Diagnosa ini dikonfirmasi kembali dengan pemeriksaan IRC yang ditemukan hasil positif untuk RVU pada saluran kemih bagian atas kiri. Hal ini berdasarkan peningkatan aktivitas pada ginjal pada saat dilakukan proses berkemih. Penggunaan metode RNC dapat memberikan beberapa keuntungan selain juga terdapat beberapa kelemahan. Keuntungan yang paling utama adalah paparan radiasi yang relative lebih kecil bila dibandingkan dengan VCUG, membuat RNC dapat digunakan sebagai metode pemeriksaan pemantauan yang lebih baik bila dibandingkan dengan VCUG. Teknik IRC tidak perlu menggunakan kateterisasi ureter, sehingga nyaman bagi pasien dan petugas. Namun saat ini, penggunaan RNC sebagai metode diagnostik dari RVU belum banyak dikenal luas oleh para klinisi, sehingga pemeriksaan ini masih jarang dilakukan di bagian kedokteran nuklir RSHS.


Daftar Pustaka

  1. Cendron, Marc. Vesicoureteral Reflux. Updated Dec 15,2008. Tersedia dari : http://emedicine.medscape.com/article/439403-overview.
  2. Nelson PC, Koo PH. Vesicoureteral Reflux. Updated Sep 9, 2008. Tersedia : http://emedicine.medscape.com/article/1016439-overview.
  3. Hatch DA, Ouwenga MK. Pediatric Urology. Dalam : Henkin RE. Nuclear Medicine. Edisi ke-2. Philadelphia : Mosby Inc.;2006.h1089-1100.
  4. Payne SR, Testa HJ. Vesicoureteric reflux and ureteric disorders. Dalam : Maisey MN, Britton KE, Collier BD, penyunting. Clinical Nuclear Medicine. Edisi ke-3. London : Chapman & Hall; 1998.h425-432.
  5. Berrocal T, Gaya F, Arjonilla A, Lonergan GJ. Vesicoureteral Reflux : Diagnosis and Grading with Echo-enhanced Cystosonography versus Voiding Cystourethrography. RSNA. 2001 Nov;221(2):359-365.
  6. Mahsjur JS, Kartamihardja AHS. Bagian Kedokteran Nuklir Rumah Sakit Hasan Sadikin. Buku Pedoman Tatalaksana Diagnostik dan Terapi Kedokteran Nuklir, RSHS, FK Univ Padjadjaran. Bandung.1999.
  7. The European Association of Nuclear Medicine. Guidelines for Indirect Radionuclide Cystography. Tersedia : http://www.eanm.org/scientific_info/guidelines/gl_paed_irc.pdf
  8. The European Association of Nuclear Medicine. Guidelines for Direct Radionuclide Cystography. Tersedia : http://www.eanm.org/scientific_info/guidelines/gl_paed_irc.pdf
  9. The Society of Nuclear Medicine. The Society of Nuclear Medicine Procedure Guideline for Radionuclide Cystography March 2003. Ver.3.0 Jan 25, 2003. Tersedia : interactive.snm.org/docs/pg_ch32_0703.pdf
  10. Sukan A, Bayazit AK, Kibar M, Noyan A, Soyupak S, Yapar Z, Anarat A. Comparison of direct radionuclide cystography and voiding direct cystography in the detection of vesicoureteral reflux. Ann of Nucl Med. 2003;17:549-553.

Kedokteran Nuklir pada Pemeriksaan Nefrourologi

I. PENDAHULUAN


Pencitraan dengan menggunakan radionuklida pada ginjal dan saluran kemih pada kedokteran nuklir telah menjadi aset yang sangat berharga bagi para klinisi dalam menilai kelainan ginjal dan saluran kemih. Kombinasi yang unik untuk pemeriksan anatomi dan fungsional menempatkan pencitraan dengan kedokteran nuklir sebagai modalitas diagnostik pilihan dalam berbagai keadaan klinis. Aplikasi dari teknik kedokteran nuklir dalam bidang nefrourologi lebih bervariasi bila dibandingkan dengan sistem organ yang lain.1 Lingkup dari bidang nefrourologi mencakup dari aplikasi sidik ginjal yang terdiri dari penilaian fungsi ginjal, pemeriksaan obstruksi, observasi fungsi dari transplantasi ginjal, penilaian hipertensi renovaskuler, deteksi lesi metastasis dari keganasan pada ginjal, dan lain-lain. Keuntungan dari pemeriksaan nefrourologi menggunakan teknik kedokteran nuklir adalah dapat memberikan informasi fungsi ginjal secara non-invasif dengan dosis radiasi yang minimal. 2

Renografi dengan menggunakan radionuklida adalah salah satu teknik pemeriksaan tertua di bidang kedokteran nuklir, yang dengan beberapa perubahan, dapat bertahan seiring dengan berjalannya waktu. Pemeriksaan ginjal dan saluran kemih ini telah menjadi pemeriksan yang rutin dilaksanakan di dalam praktek kedokteran nuklir dan penelitian klinis. Pemeriksaan ini memainkan peranan yang penting di dalam pemeriksaan diagnostik ginjal dan saluran kemih. Pengetahuan yang jelas mengenai pemeriksaan ginjal dan saluran kemih di bidang kedokteran nuklir harus dimiliki oleh seluruh komunitas kedokteran, terutama bagi yang berminat terhadap bidang nefrourologi. Sebaiknya para urologist dan nephrologist memahami pentingnya pemeriksaan ginjal dan saluran kemih pada kedokteran nuklir ini, sama seperti para pulmonologist memahami pentingnya foto rontgen dada. Pemeriksaan ginjal dan saluran kemih pada kedokteran nuklir ini relatif mudah dilakukan, dapat diterima dengan baik oleh pasien baik itu dewasa maupun anak-anak, dan memberikan informasi klinis yang bernilai yang tidak dapat diberikan dari modalitas pemeriksaan diagnostik lainnya.3 Pada saat ini analisa hasil akhir dari terapi intervensi atau operasi telah menjadi kunci dari pengobatan yang berdasarkan bukti (evedence-based medicine) yang diperlukan oleh pasien, maka aplikasi dari pemeriksaan non-invasif ini akan tumbuh berkembang dengan tingkat kesalahan yang kecil dan jelas. 4

Pada beberapa literatur pembahasan mengenai ginjal dan saluran kemih disatukan dengan pembahasan sistem genital, seperti testis dan penis, Sedangkan pada beberapa literatur lain pembahasan untuk ginjal dan sistem genitalia sudah dibuat secara terpisah. Dalam referat ini akan dibahas mengenai bidang nefrourologi saja.


II. ANATOMI dan FISIOLOGI

Manusia memiliki sepasang ginjal berbentuk kacang yang terletak di retroperitoneal intra abdomen. Kedua ginjal terletak setinggi vertebra Thorakal 12 hingga Lumbal 3. Pada orang dewasa ukuran ginjal biasanya memiliki panjang sekitar 11 cm dan tebal 5 cm dengan berat 150 gram. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat bagi hepar. 5,6

Ukuran ginjal manusia tergantung dari banyaknya jumlah nephron. Nephron adalah unit dasar dari struktur dan fungsi ginjal. Nephron terdiri dari tubulus renal dan glomerulusnya. Setiap manusia diperkirakan memiliki rata-rata 1 juta nephron pada satu ginjal. Jika ginjal dipotong melintang, akan terlihat dua bagian : bagian luar yang disebut korteks, dan bagian dalam yang disebut medula. Korteks ginjal terdiri dari glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul Bowman. Tubulus renal terdiri dari beberapa bagian. Bagian yang paling dekat dengan glomerulus disebut tubulus kontortus proksimal. 5,6

Ansa Henle terdiri dari tubulus kontortus proksimal, segmen tipis desenden dan segmen tebal asenden. Segmen berikutnya adalah tubulus kontortus distal yang ukurannya lebih pendek dan terhubung ke duktus koligentes. 5,6

Ginjal kaya akan suplai perdarahan dan persarafan. Setiap ginjal biasanya disuplai oleh satu pembuluh darah arteri renalis yang bercabang menjadi bagian anterior dan posterior yang akan bercabang menjadi arteri segmented lalu bercabang lagi menjadi arteri interlobar yang akan melewati kortek ginjal. Arteri interlobar akan bercabang kembali menjadi arteri arkuata yang kemudian akan bercabang menjadi arteri yang lebih kecil lagi yaitu arteri kortikal radiata. Arteriol aferen berasal dari arteri kortikal radiata, kemudian diikuti oleh glomerulus dan arteriol eferen yang berlanjut menjadi kapiler peritubular. Pembuluh darah vena berjalan paralel dengan pembuluh darah arteri. 5,6




Gambar.1. Komponen dari nefron dan collecting systems duct. (diambil dari : buku elektronik Medical Physiologi 2nd edition, William F. Ganong)

Ginjal banyak dipersarafi oleh persarafan simpatikus yang berasal dari saraf spinal Thorakal 10, 11, 12, dan Lumbal 1. Perangsangan serabut saraf simpatikus akan menyebabkan konstriksi pembuluh darah ginjal dan penurunan aliran darah ke ginjal. Dinding arteriol aferen mengandung sel juxtaglomerular yang mensekresikan renin. Sel ini secara histologis disebut sebagai makula densa. Sel juxtaglomerular, makula densa, dan sel lacis yang berada di dekatnya disebut sebagai juxtaglomerular apparatus. 5,6

Terdapat tiga proses yang terlibat dalam proses pembentukan urin : filtrasi glomerular, reabsorpsi tubular, dan sekresi tubular. Filtrasi glomerular melibatkan ultrafiltrasi plasma pada glomerulus. Cairan filtrat terkumpul di ruang antara kapsul Bowman yang kemudian mengalir ke arah distal melalui lumen tubulus yang komposisi dan volumenya dipengaruhi oleh aktivitas dari tubulus. Reabsorpsi tubular adalah transport zat-zat keluar dari lumen tubulus untuk kembali masuk ke dalam pembuluh darah kapiler. Proses reabsorpsi ini melibatkan zat-zat ion yang penting, air, zat metabolit, dan zat sisa. Sekresi tubular adalah proses transport masuk ke dalam lumen tubulus. Zat anion dan kation organik diambil oleh sel epitel tubulus dari pembuluh darah kapiler sekitarnya. Beberapa zat diproduksi dan disekresi oleh sel tubulus. Proses ekskresi adalah proses eliminasi melalui urin. Secara umum, jumlah zat yang diekskresi tercermin dalam rumus :

Ekskresi = Filtrasi – Reabsorpsi + Sekresi

Status fungsional dari ginjal dapat dinilai dari beberapa pemeriksaan berdasarkan konsep clearance ginjal. Pemeriksaan-pemeriksaan ini mengukur laju filtrasi glomerular, aliran darah ginjal, dan resorpsi dan sekresi tubulus dari beberapa zat. Beberapa dari pemeriksaan ini, seperti pemeriksaan GFR dilakukan secara rutin di klinis. 5,6



Gambar 2. Proses yang terlibat dalam pembentukan cairan urin. (diambil dari : buku elektronik Medical Physiology 2nd edition, William F. Ganong)


III. RADIOFARMAKA

Terdapat beberapa radiofarmaka yang dapat digunakan pada pemeriksaan ginjal dan saluran kemih di bidang kedokteran nuklir. Penggunaan radiofarmaka ini tergantung dari aspek spesifik fungsi ginjal yang akan diperiksa.3 Ginjal dapat melakukan banyak fungsi, oleh sebab itu beberapa radiofarmaka telah dikembangkan untuk dapat menilai anatomi dan fungsi dari ginjal. Pengelompokan radiofarmaka dibuat berdasarkan jenis pemeriksaan yang akan dilakukan seperti pemeriksaan aliran darah ginjal, perfusi, dan gambaran morfologi dari ginjal, serta pemeriksaan renografi, mengukur laju filtrasi glomerulus (GFR) dan aliran plasma ginjal efektif (ERPF). Radiofarmaka untuk pemeriksaan ginjal harus dapat menilai fungsi ginjal secara terpisah.2 Radiofarmaka juga harus memiliki komposisi yang konstan dan murni serta nontoksik secara radionuklida dan secara radiokimia. Radionuklida yang digunakan juga sebaiknya memiliki waktu paruh fisik yang cukup lama untuk dapat memenuhi waktu pemeriksaan, namun juga memiliki waktu paruh yang pendek untuk menghindari radiasi yang tidak perlu pada pasien. Idealnya radionuklida yang dipakai adalah radionuklida yang memancarkan sinar gamma pada kisaran energi 100-200 keV, yang sesuai dengan kamera gamma modern. 2,3

Radionuklida yang paling sering digunakan adalah technetium-99m (99mTc). 99mTc dihasilkan dari generator yang berasal dari molybdenum-99. Untuk menghasilkan 99mTc, generator perlu dielusi dengan cairan saline. Generator yang modern dibuat untuk menghasilkan 99mTc yang steril untuk periode 7 hari. Waktu paruh molybdenum-99 adalah 67 hari, sedangkan 99mTc adalah 6 jam. 99mTc merupakan pemancar sinar gamma dengan energi 140 keV. Selain itu 99mTc mudah diperoleh dan tidak rumit untuk dilabel dengan berbagai zat yang berbeda, sehingga 99mTc sangat baik digunakan untuk pemeriksaan kedokteran nuklir pada ginjal dan saluran kemih. 3

Sebelum 99mTc dipakai secara luas, radionuklida yang sering digunakan dalam pemeriksaan kedokteran nuklir untuk ginjal dan saluran kemih adalah iodium seperti 131I, 125I, dan 123I. Iodium yang paling sesuai untuk pemeriksaan kedokteran nuklir adalah 123I, karena memancarkan sinar gamma dengan energi 159 keV dan waktu paruh 13 jam. Sayangnya 123I diproduksi oleh cyclotron yang sangat sulit diperoleh karena harganya yang relatif lebih mahal. 123I digunakan untuk menandai ortho-iodohippurate (hippuran), radiofarmaka yang biasanya digunakan untuk pengukuran ERPF. Saat ini 123I telah digantikan dengan131I atau 99mTc apabila ingin menandai hippuran. 3

131I memiliki waktu paruh 8.06 hari merupakan radionuklida pemancar sinar beta dan sinar gamma dengan tingkat energi yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 364 keV, sehingga 131I tidak cocok digunakan untuk pemeriksaan diagnostik namun lebih cocok bila digunakan untuk terapi. 125I memiliki waktu paruh 60 hari dan energi sebesar 30 keV sehingga juga tidak cocok digunakan untuk pemeriksaan diagnostic. 3

Radionuklida yang lain yang dapat digunakan adalah Chromium-51 (51Cr). 51Cr memiliki waktu paruh 27.7 hari dan memancarkan sinar gamma dengan tingkat energi sebesar 320 keV. Biasanya 51Cr digunakan untuk menandai ethylene-diamine-tetra-acetic acid (EDTA) dan untuk mengukur laju filtrasi glomerulus (GFR). 3

Tabel.1. Dosis radiasi untuk pemeriksaan nefrourologi pada orang dewasa.



Radiofarmaka yang digunakan untuk pemeriksaan renografi dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama adalah Radiofarmaka jenis tubular agent. Pada Radiofarmaka jenis ini ditangkap oleh sel-sel tubulus dan disekresikan ke dalam lumen tubulus, dan hanya sebagian kecil yang ditangkap oleh glomerulus. Yang termasuk ke dalam golongan Radiofarmaka tubular agent adalah 123I-hippuran, 99mTc-mercaptoacetyltrigliycine (99mTc-MAG3), dan 99mTc-ethylene di-cysteine (EC). Radiofarmaka jenis yang kedua adalah Radiofarmaka jenis glomerular agent dimana Radiofarmaka ini ditangkap paling dominan melalui glomerulus dan hanya sebagian kecil yang disekresikan melalui glomerulus. Yang termasuk ke dalam golongan dari radiofarmaka jenis ini adalah 99mTc-diethylenetetraaminepenta acetic acid (DTPA) dan 51Cr-ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA). Karena lokasi penangkapan ginjalnya yang spesifik di glomerulus maka radiofarmaka jenis glomerular agent ideal digunakan untuk pemeriksaan GFR dan ERPF. 99mTc-dimercaptosuccinic acid (DMSA)ditangkap paling tinggi pada korteks ginjal, dan merupakan radiofarmaka pilihan untuk pencitraan pencitraan parenkim ginjal tanpa melalui pelvikalises seperti pada umumnya.

99mTc-MAG3 diperkenalkan pertama kali sejak tahun 1986, 99mTc-MAG3 telah menjadi radiofarmaka yang berharga dan dapat diterima secara luas dalam pemeriksaan ginjal dan saluran kemih di kedokteran nuklir. Hal ini dikarenakan 99mTc-MAG3 dapat memberikan hasil pencitraan dan renografi yang lebih superior bila dibandingkan dengan DTPA ataupun hippuran. Clearance ginjal dari 99mTc-MAG3 secara keseluruhan terjadi pada proses filtrasi glomerulus dan sekresi tubular, namun sebagian besar terjadi pada sekresi tubular sedangkan pada proses filtrasi glomerulus hanya sebagian kecil saja karena ikatannya dengan protein lebih tinggi. Pola dari clearance ginjal pada 99mTc-MAG3 ini serupa dengan yang terjadi pada hippuran. Namun bila dibandingkan dengan hippuran, 99mTc-MAG3 memiliki clearance plasma yang lebih lambat, rasio ekstraksi yang lebih rendah, dan suatu volume distribusi yang lebih kecil. 99mTc –MAG3 memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak dapat mengukur secara langsung nilai dari ERPF, namun dengan menggunakan metode sederhana dan persamaan-persamaan untuk merubah clearance dari 99mTc –MAG3 telah berhasil dilakukan. Selain itu juga 99mTc –MAG3 dapat ditangkap oleh hepar, sehingga pada saat membuat region of interest (ROI) harus hati-hati sehingga tidak mempengaruhi hasil pemeriksaan. 2,3



Tabel.2. Dosis radiasi untuk pemeriksaan nefrourologi pada anak-anak (diambil dari : .


IV. APLIKASI KLINIS


Renografi Konvensional

Renogafi atau bisa juga disebut pemeriksaan radionuklida ginjal dinamik memiliki prinsip pemeriksaan yaitu menilai penangkapan radionuklida oleh ginjal, yang dialirkan melalui nephron dan diekskresikan ke dalam pelvis ginjal dan kemudian melalui ureter sampai dengan kandung kemih. Jumlah zat yang difiltrasi tergantung dari derajat ikatan protein dari radionuklida di dalam plasma darah. Jumlah zat radionuklida yang disekresikan tergantung dari afinitas dari tempat transport di tubulus proksimal. Perubahan pada aktivitas ginjal terhadap waktu direkam dan kurva aktivitas terhadap waktu dari area ginjal dibuat (renogram). Berdasarkan kurva renografi, maka akan diperoleh nilai atau hasil pengukuran yang berhubungan dengan fisiologis ginjal, seperti fungsi penangkapan, waktu transit, dan efisiensi outflow). 7

Secara garis besar ginjal mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ekskresi (filtrasi) dan reabsorpsi serta sekresi. Fungsi ekskresi dilakukan oleh glomerulus, sedangkan fungsi reabsorpsi dan sekresi dilakukan oleh sel-sel tubuli. 8 Oleh karena itu diperlukan radiofarmaka yang spesifik untuk lokasi yang ingin diperiksa. Saat ini terdapat 3 radiofarmaka yang umum digunakan secara rutin digunakan pada pemeriksaan renografi yaitu 99mTc-MAG3, 99m Tc-DTPA, dan 123I-OIH (hippuran). 2,7,8

Indikasi klinis utama untuk pemeriksaan renografi adalah untuk memeriksa pasien dengan obstruktif uropati, transplantasi ginjal, kelainan kongenital pada ginjal, trauma pada saluran kemih, gagal ginjal akut dan kronis, atau hipertensi. Renografi juga memiliki peranan yang penting dalam pemeriksaan pasien dengan tumor ginjal, terutama untuk menilai status fungsi ginjal pada bagian yang bukan bagian dari tumor. 7

Dosis radiofarmaka yang disuntikkan adalah 200 MBq (5 mCi) untuk 99mTc-DTPA, 100 MBq (2,5 mCi) untuk 99mTc-MAG3, 100 MBq (2,5 mCi) untuk 99mTc-EC, atau 80 MBq (2 mCi) untuk 123I-hippuran. Radiofarmaka ini diberikan secara bolus. Untuk anak-anak, dosis dewasa dibuat dengan menggunakan skala berdasarkan luas permukaan tubuh, dengan dosis minimum 20 MBq (0,5 mCi) untuk99mTc-DTPA dan 15 MBq (0,4 mCi) untuk 99mTc-MAG3. 7

Prosedur pemeriksaan pada renografi relatif mudah dan sederhana dikerjakan. Prosedur yang diterapkan dapat diterima dengan baik oleh pasien baik dewasa maupun anak-anak. Saat ini pemeriksaan renografi menggunakan kamera gamma. Pada saat pencitraan ginjal dan vesika urinaria harus masuk kedalam lapang pencitraan pada kamera dengan menggunakan kollimator jenis general-purpose atau high-sensitivity. Matrix yang cukup dalam mengambil citra adalah 64x64 pixels, dimana semakin besar matrix hasilnya akan lebih baik. Akuisisi citra biasanya diambil dengan pencitraan dinamik menggunakan frame 10-20 detik dan lama pemeriksaan berkisar antara 30-40 menit. Untuk persiapan pada pasien, hanya menjaga status hidrasi dari pasien selama proses pemeriksaan renografi. Pasien dewasa disarankan untuk minum 400 mL air 20-30 menit sebelum pemeriksaan agar kedua ginjal dapat terhidrasi dengan baik.Untuk pasien anak-anak diberikan volume cairan sesuai dengan berat badan. Tidak disarankan untuk melakukan pemeriksaan renografi pada waktu yang bersamaan dengan pemeriksaan Intravenous Pylelography (IVP), karena pada pemeriksaan IVP justru dibutuhkan status dehidrasi pada pasien. Selain itu juga pada pemeriksaan IVP menggunakan media kontras yang hiperosmolar, sehingga pada pasien yang sebelumnya telah dilakukan IVP, pemeriksan renografi harus ditunda dahulu selama ± 2 minggu, agar edema sel-sel tubuli akibat penggunaan media kontras IVP dapat mereda. Penggunaan media kontras pada IVP dapat memperburuk obstruksi anatomis dan menimbulkan hasil yang menyulitkan untuk dinilai. Pasien harus mengosongkan vesika urinarianya terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan renografi. Biasanya posisi pasien pada akuisisi citra adalah supine atau tidur terlentang dengan kamera gamma berada di posterior atau punggung pasien. Namun posisi duduk atau setengah duduk juga dapat dilakukan. Bahkan posisi setengah duduk lebih disarankan karena posisi demikian lebih fisiologis, dimana aliran urin menjadi lebih baik dan tidak ada pemisah antara pasien dengan kamera. Pemeriksaan dianalisa setelah data kasar dari pencitraan digabung dan terlihat secara jelas ginjal dan vesika urinaria. Kemudian dibuat Regions of Interests(ROI) pada kedua ginjal serta daerah di bawah ginjal (background). Kesulitan dalam membuat ROI adalah ketika membuat ROI pada parenkim ginjal harus tidak memasukkan aktivitas pelvis ke dalam ROI ginjal. ROI untuk background biasanya ireguler di luar ginjal. Setelah itu akan diperoleh kurva dari aktivitas setiap area, yang kemudian kurva aktivitas di kedua ginjal dikurangi dengan kurva aktivitas di background. Hasilnya akan didapat kurva aktivitas terhadap waktu yang telah dikoreksi, dan ditampilkan setelah disatukan antara citra menit ke-1 sampai ke-30. 7

Secara keseluruhan dalam menilai renografi harus dibuat dengan mengkombinasikan antara pencitraan, renografi, hasil angka-angka, dan intervensi. Suatu bentuk pelaporan haruslah mencantumkan data demografi, nama pemeriksaan, jenis dan dosis aktivitas radiofarmaka yang disuntikkan. Pelaporan juga harus menjelaskan pencitraan dan kurva, data angka-angka, kesimpulan yang terpisah dan saran untuk klinisi bila diperlukan. 7,8

Pada penilaian suatu pemeriksaan renografi, sangat membantu bila kita melihat urutan citra yang didapat dan menganalisa kurva aktivitas terhadap waktu secara hati-hati. Pada pencitraan diniliai penangkapan radioaktivitas oleh kedua ginjal untuk melihat kemampuan ginjal mengekstraksi radiofarmaka. 8 Pada pencitraan normal ginjal relatif mempunyai ukuran yang sama dan selama dua menit pertama menunjukkan distribusi radiofarmaka yang sama. Pada citra berikutnya mungkin dapat terlihat kaliks, pelvis, dan ureter. Fungsi relatif ginjal bervariasi antara 40-60 %. Kedua ginjal biasanya terletak pada ketinggian yang sama, walaupun ginjal kanan dapat terletak pada posisi yang lebih rendah daripada ginjal kiri karena adanya organ hepar. Kurva normal secara khas memperlihatkan adanya tiga fase. Fase pertama/inisial dimana terjadi peningkatan secara cepat segera setelah penyuntikan radiofarmaka yang menunjukkan kecepatan injeksi dan aliran darah vaskuler ke dalam ginjal. Dari fase ini dapat pula dilihat dari teknik penyuntikan radiofarmaka, apakah bolus atau tidak. Fase ini terjadi kurang dari 2 menit. Fase kedua/sekresi menunjukkan kenaikan yang lebih lamban dan meningkat secara bertahap. Fase ini berkaitan dengan proses penangkapan radiofarmaka oleh ginjal melaui proses difusi lewat sel-sel tubuli dan filtrasi glomerulus, atau keduanya ke dalam lumen tubulus. Dalam keadaan normal fase ini mencapai puncak dalam waktu 2-5 menit. Ketika aktivitas radiofarmaka mulai meninggalkan daerah ginjal maka dimulailah fase ketiga. Fase ketiga/ekskresi dimana tampak kurva menurun dengan cepat setelah mencapai puncak kurva yang menunjukkan keseimbangan antara radioaktivitas yang masuk dan meninggalkan ginjal. Fase ketiga menggambarkan terutama untuk eliminasi radiofarmaka dari daerah ginjal. Bentuk kurva dari fase ketiga ini menggambarkan pola urodinamik dari ginjal dan pola eliminasi melalui sistem pelvikalises menuju ke ureter dan vesika urinaria, sehingga pada fase ini sangat sensitif untuk untuk kelainan pada saluran kemih (pelvis, ureter, dan vesika urinaria) dan suatu bentuk kurva yang normal dapat menyingkirkan dugaan adanya obstruksi pada saluran kemih. Bentuk kurva renografi yang normal umumnya menggambarkan pula fungsi ginjal yang normal, walaupn mungkin ukuran ginjal kecil dan memberikan kontibusi dari fungsi ginjal di bawah 40 %. Kelainan pada fungsi ginjal yang terlihat pada renografi dapat disebabkan oleh perfusi ginjal yang berkurang, berkurangnya eliminasi radiofarmaka, berkurangnya filtrasi atau kelainan fungsi seluler tubulus. 3 Bila ginjal sudah tidak berfungsi, penangkapan radioaktivitas akan minim atau tidak ada sama sekali, dan kurva akan berjalan datar/tidak beraturan sebab hanya menggambarkan aktivitas background saja. Pada gambar obstruksi total, vesika urinaria tidak tampak dan fase kedua akan tampak naik terus dan tidak terlihat adanya fase ketiga. 7

Parameter yang sering ditambahkan biasanya adalah Waktu Transit Seluruh Ginjal (Whole Kidney Transit Time/WKTT) adalah waktu total yang dibutuhkan radiofarmaka untuk transit melalui parenkim ginjal dan pelvis. WKTT adalah jumlah antara Waktu Transit Parenkim Rata-rata (Mean Parenchyma Transit Time/MPTT) dan Waktu Transit Pelvis (Pelvic Transit Time/PvTT). Nilai normal MPTT adalah 100-240 detik. Parameter yang lain adalah Indeks Waktu Transit Parenkim (Parenchymal Transit Time Index/PTTI) dan Indeks Waktu Transit Seluruh Ginjal (Whole Kidney Transit Time Index/WKTTI). PTTI adalah MPTT dikurangi Waktu Transit Minimum (MinTT), nilai normal untuk PTTI adalah 10-156 detik. WKTTI adalah WKTT dikurangi MinTT, nilai normalnya adalah 20-170 detik. 3


Renografi Diuretik

Renografi diuretik merupakan suatu metode yang telah diakui dalam pemeriksaan pasien dengan dilatasi saluran kemih bagian atas dan follow up pasien dengan hidronephrosis. Pada penggunaannya secara rutin di klinis, pemeriksaan ini adalah metode terpilih untuk membedakan dilatasi yang non-obstruksi (obstruktif) dengan dilatasi yang obstruksi, dan juga berperan dalam penatalaksaanaan pasien dengan hidronephrosis melalui pemeriksaan aliran cairan urin dan fungsi ginjal. 10 Pasien dengan hidronephrosis atau hidroureteronephrosis yang ditemukan dengan ultrasonography (USG) ginjal adalah kandidat untuk dilakukannya renografi diuretik untuk menentukan apakah terdapat obstruksi atau tidak. Penyebab dari terjadinya dilatasi pada ginjal adalah termasuk Refluks Vesikoureteral (RVU), infeksi saluran kemih (ISK), kelainan kongenital, non-compliant bladder, dan obstruksi saluran kemih. 3

Prinsip dari pemeriksaan ini menggunakan obat furosemide karena efeknya bersifat diuretik yang menghambat reabsorpsi garam dan air di limb asenden ansa henle. Sifat diuretiknya tergantung dari fungsi ginjal, terutama jumlah nephron pada ginjal, deplesi dari natrium dan chloride, dan tidak adanya hipotensi. 3

Furosemide termasuk ke dalam golongan obat loop diuretics yang menghambat secara selektif reabsorpsi dari NaCl pada tubulus kontortus asenden tebal pada ansa Henle. Furosemide dieliminasi dari tubuh melalui sekresi ginjal dan filtrasi glomerular dengan respon diuretik sangat cepat pada pemberian injeksi intravena. Durasi dari kerja furosemide biasanya 2-3 jam dan waktu paruh tergantung dari fungsi ginjal. Respon diuretik dari furosemide berhubungan secara positif dengan ekskresinya di dalam urin. Furosemide bekerja dengan menghambat sistem transport Na+/K+/2Cl- pada membran lumen di tubulus kontortus desenden dari ansa Henle. Furosemide meningkatkan aliran darah ke ginjal dan menyebabkan redistribusi dari aliran darah di dalam korteks ginjal. Selain itu furosemide juga meningkatkan jumlah volume urin dan meningkatkan kadar potasium pada pasien dengan gagal ginjal akut. Furosemide dikontraindikasikan bagi pasien-pasien yang alergi terhadap obat ini, juga pada pasien dengan sirosis hepatik, gagal ginjal borderline, atau gagal jantung kongestif. 9

Pada bayi baru lahir, dimana fungsi ginjal belum matur pemeriksaan renografi diuretik sebaiknya ditunda hingga bayi berusia 4 minggu. Sebelum usia tersebut tubulus ginjal belum dapat merespon dari kerja obat furosemide. Menurut suatu penelitian, maturitas fungsi ginjal akan terjadi pada tahun pertama kehidupan dan secara bertahap menjadi sempurna pada usia 2 tahun. 10

Persiapan yang perlu dilakukan pada pasien sebelum dilakukan pemeriksaan renografi diuretik ini. Sebelum dilakukan pemeriksaan, sebaiknya dilihat kembali hasil dari USG ginjal. Hasil USG ini akan membantu apakah hidronephrosis yang terjadi unilateral atau bilateral, atau apakah disertai dengan dilatasi dari ureter, atau apakah ada kelainan yang lain seperti duplikasi ginjal. Disarankan sebaiknya pasien dalam status cukup terhidrasi dengan volume urin yang cukup, karena pada pasien dengan status hidrasi yang buruk akan memberikan hasil pada pencitraan menjadi tidak baik serta disertai dengan penurunan fungsi ginjal dan ekskresi yang tertunda. 3,10 Pada pasien bayi atau anak-anak yang tidak dapat mengendalikan proses miksi, sebaiknya digunakan kateter ke dalam vesika urinaria untuk memastikan aliran urin yang cukup. Untuk menilai dari respon furosemide dibutuhkan dua faktor utama yaitu fungsi ginjal yang masih cukup baik pada ginjal yang diperiksa (GFR > 15 mL/menit) dan status hidrasi dari pasien. Volume urin yang mencerminkan respon dari diuretik dan status hidrasi sebaiknya diukur selama pemeriksaan. 10

Protokol pemilihan waktu untuk penyuntikan diuretik belum distandarisasi secara universal. 10,11 Ketika pelvis ginjal berdilatasi, maka akan terlihat dari retensi radiofarmaka. Pada saat itu furosemide diberikan untuk meningkatkan volume urin yang dikeluarkan. Di Indonesia dosis furosemide yang dipakai adalah 20 mg (1 ampul) pada orang dewasa.8 Menurut pedoman yang dibuat oleh Society of Nuclear Medicine dan European Nuclear Medicine Association, dosis furosemide adalah 1 mg/Kg berat badan dan maksimum mencapai 20 mg pada anak-anak dan 40 mg pada orang dewasa. Diuretik diberikan pada saat pelvis ginjal penuh, biasanya hal ini terjadi pada 20 menit setelah radiofarmaka disuntikkan (F+20). Respon dari diuretik dinilai secara visual dan interpretasi kuantitatif dari pencitraan dinamik. 10

Selain dengan menggunakan protokol F+20, alternatif protokol yang lain adalah dengan menggunakan protokol F-15 dan F+0. 11 Pada suatu penelitian, dilakukan pengukuran volume urin pada menit 3 sampai 6 dan menit ke 15 sampai 18 setelah penyuntikan furosemide dan hasilnya didapatkan bahwa volume urin lebih tinggi pada menit ke 15-18. Hal inilah yang menjadi dasar dari penyuntikan furosemide pada 15 menit sebelum penyuntikan radiofarmaka F-15 sehingga akan didapat nilai aliran urin yang maksimum pada saat penyuntikan radiofarmaka. Dengan menggunakan teknik ini, akan dapat mengurangi jumlah hasil yang meragukan dari 17 % menjadi 3 %. 10

Pada protokol F+0, furosemide disuntikkan secara intravena segera setelah penyuntikan radiofarmaka. Menurut beberapa penelitian, hasil yang didapat pada pemeriksaan renografi diuretik dengan menggunakan protokol F+0 tidak berbeda jauh dengan F-15. Bahkan pada penggunaan protokol F+0 akan mengurangi frekuensi gangguan pada saat pencitraan oleh pasien yang disebabkan keinginan pasien untuk berkemih, dimana hal ini banyak ditemukan pada pemeriksaan renografi diuretik dengan menggunakan protokol F-15.11 Selain itu, protokol F+0 sangat nyaman digunakan pada pasien bayi dan anak-anak, karena tidak perlu melakukan penyuntikan sebanyak dua kali sehingga pasien menjadi lebih nyaman begitu juga dengan petugas. 10,11




Gambar. Renografi diuretik protokol F+0 pada anak laki-laki berusia 6 bulan. (diambil dari : Radionuclide Investigations of the Urinary Tract in the Era of Multimodality Imaging)



Renogram aktivitas terhadap waktu dengan koreksi background digunakan dalam penilaian aliran urin dan mengukur fungsi masing-masing ginjal. Bila ginjal tidak mengalami obstruksi maka pada kurva dapat dengan mudah dilihat pada fase pengosongan sistem saluran urin atau fase ekskresi, sedangkan bila kurva terus naik pada fase ekskresi maka kemungkinan besar terdapat obstruksi pada sistem saluran urin pada pasien tersebut. Dalam menilai respon ginjal pasien terhadap furosemide juga dapat menggunakan parameter kuantifikasi yang sederhana seperti time to peak (waktu puncak) atau waktu untuk mengekskresikan 50 % dari radiofarmaka (peak to half). Parameter kuantitatif lainnya yang dapat digunakan untuk menilai fungsi ginjal seperti output efisiensi, efisiensi ekskresi pelvis, Indeks Waktu Transit Parenkim, aktivitas residu terkoreksi. Parameter kuantitatif tersebut dapat digunakan untuk menilai respon furosemide. Selain menilai respon furosemid, mengukur fungsi ginjal juga penting karena obstruksi yang bersifat kronis dapat menyebabkan kehilangan parenkim ginjal akibat peningkatan tekanan pada sistem saluran kemih. 10




Tabel 1. Keterbatasan dan kesalahan yang mungkin dapat terjadi pada pemeriksaan renografi diuretik (diambil dari : Radionuclide Investigations of the Urinary Tract in the Era of Multimodality Imaging)



Ketika fungsi ginjal berkurang secara bermakna, maka pemeriksaan ini tidak akan dapat menilai respon diuretik secara akurat. Hasil pencitraan juga tidak dapat dinilai bila perunut banyak terkumpul di pelvis ginjal. Hasil dari pemeriksaan renografi diuretik tidak dapat digunakan bila fungsi ginjal yang dinilai telah berkurang menjadi kurang dari 20 % dari total fungsi ginjal atau ketika pelvis ginjal tidak penuh dalam waktu 60 menit sejak radiofarmaka disuntikkan. 10





Renografi Kaptopril

Pemeriksaan kedokteran nuklir pada ginjal dapat membantu para klinisi dalam menegakkan diagnosa pada hipertensi renovaskuler (HTRV) dan berperan penting dalam penatalaksanaan pasien-pasien hipertensi. Menurut Goldblatt, terdapat hubungan antara stenosis arteri renalis (SAR) dengan hipertensi. Pada penelitiannya, hipertensi yang diinduksi oleh SAR akan sembuh bila stenosisnya dihilangkan. Sebenarnya jumlah pasien dengan SAR lebih banyak dari pada HTRV. Pada 30-50 % orang-orang dengan normotensif ternyata ditemukan memiliki SAR tingkat sedang sampai berat dan jumlahnya akan meningkat dengan penambahan usia. Sebaliknya jumlah pasien yang menderita HTRV hanya kurang dari 0,5 % sampai dengan 45 % pada pasien dengan hipertensi. Akibatnya tidak semua revaskularisasi dari SAR akan selalu dapat menyembuhkan HTRV. Sehingga dibutuhkan suatu prosedur diagnostik untuk dapat mendeteksi HTRV secara akurat dan secara implisit dapat memilih pasien yang dapat disembuhkan dengan revaskularisasi. Pada saat ini metode revaskularisasi yang digunakan adalah metode percutaneus transluminal renal angioplasty, suatu prosedur yang tidak sepenuhnya aman dan memiliki komplikasi utama yang tidak ringan. Dan menurut beberapa penelitian, bila dibandingkan antara angioplasty dengan terapi pengobatan maka hasilnya didapat bahwa angioplasty lebih baik dibandingkan dengan pengobatan. Sehingga benar-benar dibutuhkan suatu prosedur diagnostik yang optimal dalam memilih pasien yang akan dilakukan revaskularisasi. 2

Gangguan renovaskuler dapat dicurigai pada pasien-pasien dengan hipertensi yang sulit dikendalikan atau resisten dengan pengobatan, hipertensi yang tejadi pada usia di bawah 35 tahun, perburukan fungsi ginjal selama terapi dengan ACE inhibitor, hipertensi progresif, perburukan fungsi ginjal dengan sebab yang tidak jelas, ditemukan penyakit vaskuler pada organ lain, penyempitan arteri renalis yang terlihat pada angiografi, dan abdominal bruit. 2

Pada saat ini banyak para klinisi yang mengunakan SAR lebih dari 50 % pada angiografi sebagai standar emas untuk mendiagnosa RVHT, walaupun ada juga yang menggunakan SAR lebih dari 70 %. Namun perlu juga diingat bahwa SAR dapat terjadi dengan bertambahnya usia dan dapat terjadi pada pasien-pasien nonhipertensif atau pada pasien yang tidak ditemukan penyebab hipertensinya. Kemudian pertanyaan berikutnya adalah, apakah pasien menderita RVHT dan dapat diharapkan sembuh dengan revaskularisasi. Bukan pertanyaan apakah pasien memiliki SAR atau tidak. Tidak heran apabila nilai sensitifitas dan spesifisitas dari pemeriksaan renografi kaptopril akan meningkat bila standar emas yang digunakan ada respon perbaikan dari pasien RVHT setelah dilakukan revaskularisasi daripada menggunakan standar emas kelainan anatomi dari SAR tersebut. 2

SAR merupakan kelainan yang murni kelainan anatomi. Menurut pedoman dari National Kidney Foundation/Disease Outcome Quality Iniative yang disebut dengan stenosis apabila terjadinya penyempitan pembuluh darah lebih dari 50 %, namun baru akan menimbulkan kelainan hemodinamik secara bermakna bila stenosis terjadi lebih dari 75 %. Efek yang langsung terjadi pada SAR dengan perubahan hemodinamik secara bermakna adalah penurunan pada tekanan perfusi di arteriol eferen yang merangsang dari peningkatan sekresi renin oleh sel juxtaglomerular di arteriol aferen. Kemudian hal ini akan menyebabkan peningkatan angiotensin I yang dirubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) yang bersifat vasokontriksi. Angiotensin II juga meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal dan distal dengan merangsang peningkatan produksi dari aldosteron. Sifat angiotensin II yang menyebabkan vasokontriksi secara luas akan menyebabkan timbulnya hipertensi sistemik dengan peningkatan resistensi perifer total. Maka sebenarnya efek dari angiotensin II adalah mencegah - atau minimal membatasi - penurunan dari GFR karena SAR. Dalam menegakkan diagnosa HTRV akan tergantung pada peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin atau gangguan hemodinamik dan fungsi ginjal. Pada ginjal yang terdapat SAR akan ditemukan peningkatan produksi renin, memiliki GFR yang normal atau sedikit menurun, dan menunjukkan penurunan fungsi ekskresi. Pada ginjal kontralateral, terdapat aliran darah dan GFR yang meningkat atau normal, dan penurunan produksi renin karena negative feedback dan peningkatan fungsi ekskresi. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa tingkat kesembuhan pasien tergantung dari tingkat kerusakan ginjal kontralateral, oleh sebab itu lebih cepat RVHT yang disebabkan oleh RAS diatasi, maka lebih besar peluang dari hipertensi untuk sembuh. 2




Gambar. Komponen dari system Renin-Angiotensin-Aldosteron (diambil dari : buku elektronik Medical Physiology 2nd edition, William F. Ganong)


Kaptopril adalah salah satu obat yang termasuk ke dalam golongan ACE Inhibitor yang dapat digunakan sebagai suatu stressor pada ginjal, memperburuk atau membuat gangguan fungsi dari ginjal pada kasus penyakit renovaskuler tetapi bukan pada kasus hipertensi esensial. Hipertensi esensial berhubungan dengan peningkatan vasokontriksi dari arteriol aferen korteks nephron, yang dibawah kendali angiotensin II. Kaptopril menghambat proses ini dan meningkatkan aliran darah sehingga memperbaiki fungsi ginjal. 2,9

Gangguan renovaskuler akan bertambah buruk jika diberikan kaptopril. Tidak ada mekanisme pada arteriol aferen, dimana dilatasi secara maksimal yang terjadi karena autoregulasi ginjal pada gangguan renovaskuler bukan karena mekanisme dari kaptopril. Kaptopril memiliki mekanisme utama dalam menghambat kerja angiotensin II yang bersirkulasi dalam darah yang bersifat vasokontriktor pada arteriol eferen di daerah juxtamedulary.




Gambar. Diagram mekanisme aksi dari ACE Inhibitor (diambil dari : Reliability of Captopril Renography in Patients Under Chronic Therapy with Angiotensin II (AT1) Receptor Antagonists).



Kaptopril diberikan secara oral dengan dosis 25 mg. Tekanan darah dipantau sebelum pemberian kaptopril dan setiap interval waktu 5 menit setelah pemberian kaptopril. Jika tekanan diastolik turun sebesar 10 mmHg atau lebih selama pemantauan, maka ini merupakan tanda bahwa efek kaptopril sudah mulai bekerja dan pemeriksaan renografi sudah dapat dimulai. Jika hal ini tidak terjadi maka pemeriksaan dapat dimulai 1 jam setelah pemberian kaptopril. Pasien disarankan untuk puasa paling tidak empat jam sebelum pemberian kaptopril, namun selama puasa cairan tetap harus masuk agar status hidrasi pada pasien tetap terjaga dengan baik. Golongan obat ACE inhibitor lain yang dapat digunakan adalah enalapril dengan dosis 2,5 mg yang diberikan secara intravena. 2,9

Untuk persiapan pasien pada pemeriksaan renografi kaptopril adalah pasien diperintahkan untuk menghentikan obat ACE inhibitor selama kurang lebih 7 hari, dan untuk obat angiotensin II dan diuretik setidaknya dihentikan selama 2 hari. Namun, waktu yang direkomendasikan menurut literatur sangat bervariasi, mulai dari 3 minggu sampai dengan 12 jam untuk kaptopril dan 24 jam untuk enalapril. Sebaiknya waktu yang tepat untuk menghentikan konsumsi dari obat ACE inhibitor adalah 5 kali interval dosis (3 hari untuk kaptopril dan 5 hari untuk enalapril). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kekurangan cairan atau dehidrasi. Sedangkan obat-obatan antihipertensif lainnya tidak perlu dihentikan, karena tidak terlalu mempengaruhi akurasi dari pemeriksaan renografi kaptopril. 2,7,8

Pada pemeriksaan renografi kaptopril akan diperoleh gambaran yang dapat menunjukkan retensi aktivitas pada parenkim, dan bertahan lebih lama pada penggunaan kaptopril apabila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan renografi konvensional yang digunakan sebagai data dasar. Pada pemeriksaan renografi yang menggunakan radiofarmaka tubular agent hal ini dapat disebabkan oleh ketiadaan cairan filtrasi yang menghalangi washout dari tubular agents. Pada penggunaan glomerular agents seperti DTPA dapat terlihat adanya penurunan yang bermakna pada penangkapan radioaktivitas atau bahkan tidak nampak pada ginjal yang terganggu. Indeks parameter seperti waktu transfer kortikopelvik (waktu pada saat aktivitas pertama kali muncul di ginjal dan pelvis) dapat dicatat dan dibandingkan antara renografi konvensional dengan renografi kaptopril. Kurva aktivitas terhadap waktu bentuknya akan memburuk bila dibandingkan dengan renografi konvensional; terutama terdapat gangguan pada fase kedua dimana terjadi pemanjangan waktu menuju puncak dan perburukan, atau bahkan tidak ada fase ketiga. Biasanya fungsi ginjal akan turun sebanyak 5 %, walaupun pada beberapa literatur menyebutkan penurunan fungsi sebesar 10 % dapat digunakan untuk mendiagnosa RVHT. MPTT dapat meningkat menjadi lebih dari 240 detik, atau 60 detik lebih lama dari nilai normal. Jika dicurigai terdapat gangguan renovaskuler unilateral, maka ginjal kontralateral akan menunjukkan renografi dan parameter yang normal. 2,7,8

Pemeriksaan renografi sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien yang mengkonsumsi ACE inhibitor secara teratur, namun jika hasilnya abnormal maka pemeriksaan renografi konvensional yang sebenarnya dilakukan dengan menghentikan obat ACE inhibitor selama satu minggu. Jika hasilnya menunjukkan suatu perbaikan maka hal ini menunjukkan bahwa ACE inhibitor memiliki pengaruh yang merugikan pada fungsi ginjal, dan menunjukkan adanya gangguan renovaskuler. Selanjutnya pemeriksaan renografi kaptopril dapat dilakukan untuk memastikan bahwa perburukan yang terjadi dapat disebabkan oleh ACE inhibitor. Nephropati diabetik adalah penyebab yang umum untuk gangguan renovaskuler. Hal ini dapat disebabkan oleh penyakit pembuluh darah kecil walaupun juga dapat disertai oleh kelainan pada pembuluh darah besar. Penyakit pembuluh darah kecil dicurigai bila terdapat respon yang simetris pada pemberian kaptopril. Jika responnya menunjukkan asimetris pada pemberian kaptopril, dimana ginjal yang lebih buruk akan memiliki MPTT yang lebih panjang menjadi lebih dari 300 detik, dicurigai adanya suatu SAR yang berarti secara fungsional. Perbaikan pada pemeriksaan renografi konvensional sebagai data dasar dapat menunjukkan bahwa penggunaan kaptopril pada pasien diabetes tersebut tidak akan memperburuk fungsi ginjal, yang akan membantu memperlambat terjadinya nephropati diabetik. 7,8

Pada suatu penelitian yang mengikutsertakan 3000 pasien dengan hipertensi, diperoleh nilai sensitivitas dan spesifisitas bervariasi antara 83 % sampai 100 % dan 62 % sampai 100 %. Pada 12 penelitian yang lain melibatkan 2291 pasien nilai rata-rata untuk sensitivitas dan spesifisitas dalam mendeteksi SAR adalah 92,5 % dan 92,2 %. Nilai sensitivitas dari penelitian ini mungkin meningkat disebabkan tidak semua pasien dalam penelitian ini dilakukan angiografi. Pada 2 buah artikel yang diterbitkan di tahun 2000 menyebutkan di populasi yang menderita SAR tinggi sekitar 20% dan 65%, nilai prediksi positif dan negatifnya juga tinggi yaitu 90 % dan 95 %. Namun pada suatu penelitian lain, dimana populasi penderitanya rendah hanya sekitar 5 %, yang melibatkan 667 dan 450 pasien penderita hipertensi nilai sensitifitas dan spesifisitasnya tetap tinggi yaitu 90-100 % dan 94-95 %.2

Renografi Transplantasi Ginjal

Operasi transplantasi ginjal memiliki beberapa risiko komplikasi dari operasi tersebut. Komplikasi tersebut diantaranya adalah rejeksi (penolakan), Acute Tubular Necrosis (ATN), obstruksi ureter, stenosis arteri renalis, thrombosis vena renalis, infeksi, toksisitas siklosporin dan lain sebagainya. Renografi dan teknik kedokteran nuklir lainnya telah digunakan pada perawatan pasien transplantasi ginjal selama puluhan tahun yang lalu. Renografi pada transplantasi ginjal digunakan untuk follow-up pada pasien-pasien pasca operasi transplantasi ginjal. Prosedur ini digunakan untuk mendeteksi terjadinya risiko komplikasi pada pasien-pasien tersebut. Prosedur renografi pada pasien transplantasi ginjal ini berasal dari prosedur yang sama pada pasien non-transplantasi ginjal. 3

Renografi juga dipakai untuk menilai fungsi ginjal pada calon donor yang sehat. Renografi konvensional dilakukan untuk memastikan bahwa ginjal yang akan didonorkan adalah ginjal yang baik dan tidak akan membahayakan bagi pasien penerimanya. Sebelum dilakukan renografi, creatinine clearance dipakai untuk menilai fungsi ginjal secara umum. Namun bila hasilnya meragukan maka dapat dilakukan ranografi konvensional yang tidak terlalu invasif, aman, dan mudah dikerjakan. Selain itu juga dapat dilakukan berulang-ulang. 3

Yang membedakan dalam prosedur renografi konvensional dengan renografi pada transplantasi ginjal adalah posisi kamera gamma, dimana pada renografi transplantasi ginjal diletakkan di anterior fossa iliaka di daerah abdomen bagian bawah dan pelvis. Vesika urinaria dan fossa iliaka kontralateral dimasukkan ke dalam lapangan pencitraan. Setelah radiofarmaka disuntikkan secara bolus, citra diambil pada interval satu detik selama 60 detik. Selanjutnya dipakai protokol renografi konvensional dengan menggunakan frame 20 detik selama 30 menit. Setelah selesai pencitraan, selanjutnya dibuat kurva renografi dengan membuat ROI pada ginjal dan background terlebih dahulu. Untuk ROI latar belakang biasanya dibuat di daerah fossa iliaka kontralateral, karena mencerminkan aktivitas jaringan di sekitar transplantasi ginjal. Namun di manapun ROI background dibuat, prinsipnya adalah tidak membuat ROI di pelvis, ureter, dan vesika urinaria. Dan ROI yang dibuat harus konsisten selama pemeriksaan renografi secara serial. 3,7

Parameter yang digunakan pada pemeriksaan perfusi dan renografi pada pasien transplantasi ginjal adalah bladder appearance time, rasio ginjal-vesika urinaria, waktu puncak renografi, indeks ekskresi, indeks perfusi, dan rasio ginjal-aorta. Paremeter ini digunakan pada renografi transplantasi ginjal bukan dari nilainya yang absolut, namun dilihat dari perubahan nilai pada pemeriksaan yang dilakukan secara serial. Pada renografi transplantasi ginjal tidak ada kriteria renografi normal, karena tidak ada nilai normal yang pasti untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya rejeksi atau ATN. Pada pasien yang menerima ginjal dari donor hidup yang sehat, biasanya memberikan gambaran renografi yang normal. Walaupun renografi tidak pernah mencapai nilai normal, perubahan aktivitas terjadi terhadap waktu dapat memberikan petunjuk kemajuan dari kondisi pasien transplantasi ginjal. Yang perlu diperhatikan dari renografi pada transplantasi ginjal ini adalah gambaran perfusi dan kurva renografinya karena dapat memberikan informasi yang penting. 3

Tabel 5. Indikasi untuk Renografi Transplantasi Ginjal (diambil dari : Radionuclide Investigations of the Urinary Tract in the Era of Multimodality Imaging).








Terdapat dua metode yang digunakan sebagai petanda fungsional dan penilaian perfusi ginjal pada pemeriksaan renografi transplantasi ginjal secara serial, yaitu indeks perfusi dari Hilson dan rasio ginjal-aorta dari Kirschner. Untuk indeks perfusi dari Hilson adalah menghitung indeks perfusi ROI dibuat pada ginjal dan arteri iliaka yang kemudian dibuat kurva aktivitas terhadap waktu. Rasio dari arteri dan ginjal digunakan sebagai indeks perfusi. Jika tidak ada aliran darah ke ginjal yang ditransplantasi maka nilai indeks perfusi akan meningkat. Sedangkan pada metode rasio ginjal-aorta dari Kirschner, dimana menggunakan kurva aktivitas terhadap waktu dari ginjal dan aorta. Pada metode ini, nilai rasio akan menurun bila tidak ada perfusi ke ginjal. Kelemahan dari kedua metode ini adalah dibutuhkan penyuntikan bolus intravena yang baik, dimana tidak selalu dapat dilakukan pada pasien-pasien transplantasi ginjal. Metode yang lebih sedehana adalah dengan menggunakan waktu puncak renografi dan jumlah total aktivitas pada ginjal, vesika urinaria, kateter, dan setiap aliran urin . Lebih dekat waktu puncak pada tiga menit lebih baik, lebih tinggi aktivitas lebih baik. 3

Parameter yang digunakan untuk menilai bahwa operasi transplantasi ginjal dikatakan berhasil atau ginjal berfungsi dengan baik diantaranya adalah, apabila ginjal berfungsi dengan baik dan dapat menghasilkan urin, kadar kreatinin dan ureum serum turun dan kadar kalium dalam batas normal. Masih dalam perdebatan apakah renografi dapat digunakan secara rutin pada pasien demikian. Beberapa tempat memakai renografi pasca operasi untuk menilai fungsi ginjal yang ditransplantasi sebagai data dasar untuk pemeriksaan yang selanjutnya. Ini terbukti dalam literatur bahwa renografi dapat mendeteksi adanya rejeksi sebelum terjadi perubahan pada parameter biokimia. Namun, perlu dilakukan renografi secara serial terhadap pasien pasca operasi transplantasi ginjal apakah itu berfungsi dengan baik atau tidak. 3

Pasien biasanya tidak memproduksi urin dan memerlukan dialisis untuk menjaga biokimia darah berada dalam kadar yang dapat diterima. Sehingga pengukuran kadar biokimia darah tidak dapat digunakan. Renografi dan perfusi ginjal secara rutin dilakukan dalam 24 jam pertama untuk memastikan keberhasilan dari operasi. Pada beberapa kasus ATN dapat berlangsung selama beberapa minggu pasca operasi. Biopsi ginjal adalah pemeriksaan yang definitif, namun dapat memberikan morbiditas, walaupun menggunakan biopsi dengan jarum yang halus atau dengan kontrol dari USG. Penggunaan renografi secara rutin dapat membantu menentukan waktu yang tepat untuk dilakukan biopsi ginjal dan mengurangi jumlah biopsi yang tidak perlu. Renografi akan memberikan gambaran perbaikan sampai ATN diatasi. Jika terjadi rejeksi, gambaran renografi akan mengalami perburukan. Sayangnya nephrotoksisitas siklosporin juga dapat memberikan gambaran yang sama dengan rejeksi. Sehingga perlu dilakukan biopsi ginjal pada saat seperti ini untuk membedakan kesua keadaan ini. Gambaran DTPA pada ATN berbeda dengan gambaran pada MAG3 atau hipuran. Karena DTPA secara murni difiltrasi dan tidak ada sekresi pada tubulus, maka setelah fase inisial aktivitas pada ginjal akan turun secara cepat karena filtrasi glomerulus sangat kecil. 3

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa pada transplantasi ginjal memiliki beberapa risiko komplikasi yang dapat memberikan gambaran yang serupa pada pemeriksaan renografi. Komplikasi tersebut dapat memberikan gambaran fase kedua dan ketiga yang memanjang akibat dari uptake dan ekskresi yang berkurang. Sehingga pemeriksaan renografi pada transplantasi ginjal ini bukan untuk mencari penyebab dari kegagalan transplantasi ginjal, namun untuk memantau perkembangan fungsional dari transplantasi ginjal. Oleh sebab itu, risiko komplikasi tersebut dapat digunakan sebagai diagnosa pembanding dari penyebab terjadinya kegagalan fungsional dari transplantasi ginjal. Nyeri yang akut disertai dengan oligouria atau anuria cenderung disebabkan oleh obstruksi akut atau juga trombosis akut. Jika disertai dengan pireksia maka dapat dipikirkan sebagai suatu rejeksi (penolakan). Suatu obstruksi akut dapat disertai dengan sistem pelvikalises yang berdilatasi. Suatu trombosis akut tidak akan memberikan gambaran ginjal pada pemeriksaan perfusi, sedangkan rejeksi akut akan menunjukkan fungsi ginjal dan perfusi yang berkurang. 3

Sebaiknya juga dipertimbangkan bahwa pada pasien-pasien penerima transplantasi ginjal dapat diberikan obat-obatan yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Contoh obat-obatan tersebut diantaranya adalah steroid, diuretik, beta adrenergik blocker, ACE Inhibitor, antibiotika golongan aminoglikosida, dan siklosporin A. Pada dasarnya hal ini bukanlah suatu masalah, karena pasien diberikan obat-obatan tersebut dalam dosis yang terkontrol dan tidak begitu mempengaruhi hasil dari renografi. Namun apabila diberikan dalam dosis yang besar, maka akan mempengaruhi dan mengganggu hasil renografi. Sebaiknya renografi dilakukan sebelum obat-obatan tersebut diberikan. 3



CLEARANCE GINJAL


Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR)

Pengukuran nilai GFR dianggap sebagai suatu pemeriksaan fungsi ginjal yang sangat penting. Hal ini didasarkan atas konsep clearance suatu zat yang secara ideal diberikan melalui pengukuran dengan menggunakan inulin. Namun, pengukuran GFR menggunakan inulin sangat terbatas karena sulitnya prosedur yang harus dikerjakan. Akibatnya nilai kreatinin clearance yang sering digunakan untuk mengukur nilai GFR pada keadaan klinis dan telah diterima dengan baik oleh para klinisi sebagai suatu metode yang baik dalam menilai fungsi ginjal. Dengan asumsi bahwa bila nilai GFR turun hingga setengah dari nilai normal, maka kadar kreatinin di dalam plasma akan meningkat hingga dua kali lipat dari nilai normal pada saat produksi dan ekskresi dari kreatinin dalam keadaan seimbang.6 Namun terdapat beberapa kelemahan dari kreatinin clearance ini. Beberapa kelemahan tersebut adalah sekresi kreatinin pada tubulus yang kecil menyebabkan kreatinin clearance kurang akurat bila dibandingkan dengan inulin. Kreatinin clearance membutuhkan pengambilan sampel darah dan pengumpulan urin yang akurat selama 24 jam. Hasil GFR yang diperoleh adalah hasil GFR total, bukan GFR ginjal secara terpisah. Selain itu kreatinin clearance tidak dapat dilakukan pada keadaan klinis yang memerlukan nilai GFR secara cepat. Dari sudut pandang klinis, nilai GFR yang diperoleh dari inulin maupun kreatinin clearance tidaklah bermakna, namun kebutuhan untuk memperoleh nilai GFR ginjal secara terpisah dan pada saat akut membatasi penggunaan kedua metode tersebut. Akibatnya teknik kedokteran nuklir pada nefrourologi telah dikembangkan untuk mengatasi masalah ini dan dapat memberikan pelayanan dalam fungsi ginjal di klinis. 2,6



Gambar. Hubungan yang terbalik antara [kreatinin] plasma dengan GFR (diambil dari : buku elektronik Medical Physiology 2nd edition, William F. Ganong)

Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) adalah jumlah filtrasi glomerulus yang dibentuk setiap menit dalam nefron kedua ginjal. Filtrasi glomerulus terjadi akibat tekanan di dalam kapiler yang menyebabkan filtrasi cairan melalui membran kapiler ke kapsul Bowman’s. Tekanan filtrasi glomerulus adalah tekanan netto yang memaksa cairan keluar melalui membran glomerulus, hampir sam dengan tekanan hidrostatik glomerulus (60 mmHg) dikurangi tekanan osmotik koloid glomerulus (32 mmHg) dan kapsula Bowman’s (18 mmHg) sehingga besarnya tekanan filtrasi normal kira-kira 10 mmHg. Koefisien filtrasi merupakan konstanta yang besarnya 12,5 mL/menit/mmHg. Jadi didapatkan persamaan bahwa8 :

GFR = Tekanan filtrasi x Koefisiensi filtrasi

= 10 mmHg x 12,5 mL/menit/mmHg

= 125 mL/menit (protap)

Dalam penentuan GFR perlu dipahami konsep clearens ginjal yaitu kemampuan ginjal untuk menjernihkan plasma dari berbagai macam zat. Laju clearens adalah volume yang dijernihkan per unit waktu (mL/menit). GFR dapat diukur dengan menghitung laju clearens ginjal dari zat khusus. Zat khusus tersebut harus memiliki sifat yang dibutuhkan dalam pemeriksaan GFR seperti harus diekskresi secara eksklusif oleh ginjal, harus dapat difiltrasi secara bebas melalui glomerulus, harus secara fisiologis bersifat inert, dan juga tidak direabsorpsi atau disekresi oleh tubulus ginjal. 99mTc-DTPA hampir memenuhi semua kriteria diatas, sehingga dapat digunakan untuk pemeriksaan GFR. 99mTc-DTPA dieliminasi secara eksklusif oleh filtrasi glomerulus. Tiga menit setelah penyuntikan 99mTc-DTPA secara intravena, kuantitas dari radiofarmaka yang meninggalkan ginjal dapat diabaikan sehingga dapat diasumsikan bahwa selama interval tersebut dapat merefleksikan filtrasi glomerulus pada ginjal. 12

Indikasi klinis untuk pengukuran nilai GFR adalah untuk mencari dan menilai penyakit-penyakit nefrourologi kronis, bersama dengan renografi sebelum operasi ginjal dan atau saluran kemih, menilai fungsi ginjal sebelum dilakukan transplantasi ginjal, memonitor fungsi ginjal selama menjalani pengobatan dengan obat-obatan yang berpotensi untuk terjadinya nephrotoksik, selain itu juga dapat digunakan untuk menghitung dosis obat terutama yang diekskresikan melalui ginjal. 8

Penggunaan penanda dari logam seperti EDTA yang ditandai dengan 51Cr memiliki clearance plasma yang serupa dengan clearance inulin, sehingga 51Cr-EDTA dapat digunakan sebagai standar emas alternative untuk pengukuran nilai GFR. Namun penggunaan 51Cr-EDTA juga terbatas karena sulit diperoleh. DTPA yang ditandai dengan 99mTc saat ini digunakan sebagai radiofarmaka pilihan pada renografi yang membutuhkan nilai GFR. 99mTc-DTPA bersifat stabil, memiliki ikatan protein yang rendah dibersihkan melalui filtrasi glomerulus, dan tidak bekerja pada tubulus ginjal. Berdasarkan hasil penelitian dari Klopper et al. menunjukkan bahwa 99mTc-DTPA dapat memberikan hasil yang memuaskan untuk pengukuran nilai GFR walaupun terdapat ikatan protein yang minimal. 2

Terdapat 4 metode teknik yang dapat digunakan untuk pengukuran nilai GFR dengan menggunakan radiofarmaka 99mTc-DTPA. Dua diantara teknik ini membutuhkan sampel darah yaitu teknik sampel darah multiple dan sampel darah single, yang ketiga membutuhkan pengumpulan urin, dan yang terakhir dengan menggunakan kamera gamma. Sehingga secara umum dapat dibagi menjadi 2 metode, pengukuran secara internal dan pengukuran secara eksternal. Semua teknik ini harus dikerjakan sesuai dengan prosedur secara tepat, bila tidak maka akibatnya adalah hasil yang diperoleh menjadi tidak valid.2



Teknik Sampel Darah Multipel

Beberapa penelitian mengatakan bahwa pengukuran GFR dengan 99mTc-DTPA dengan metode penyuntikan tunggal menggunakan kecepatan hilangnya perunut di dalam plasma untuk menilai fungsi glomerulus. Sampel darah multiple diambil dengan interval waktu 4 jam setelah penyuntikan perunut untuk dibuat kurva analisa terhadap hilangnya 99mTc-DTPA dari dalam darah. Kinetika 99mTc-DTPA di dalam plasma dapat dijelaskan oleh konsep dua kompartemen, dengan pencampuran antara perunut di ruang intravaskuler dan ekstravaskuler dan perunut yang dibersihkan melalui urin. GFR dihitung dengan mengalikan nilai konstanta clearance dari aktivitas di dalam plasma dengan volume distribusi aktivitas, yang akan memberikan hasil volume distribusi yang hilang secara cepat. 2

Penelitian dari Russell melaporkan akurasi terbaik dicapai untuk pengukuran GFR dengan menggunakan 99mTc-DTPA dan teknik sampel darah multiple adalah pengambilan sampel pertama pada 10 menit setelah perunut disuntikkan dan dilanjutkan pada interval 3-4 jam yang kemudian dibuat kurva aktivitas terhadap waktu di dalam plasma (r=0.87). Kurva ini juga penting untuk menghitung nilai clearance. 2

Ash dan Gilday melakukan penelitian yang sama terhadap 26 pasien, dan menunjukkan hasil yang baik (r=0.91). Balachandran et al. mendapatkan korelasi yang dapat diterima dengan baik antara kreatinin clearance dengan pengukuran GFR yang menggunakan 99mTc-DTPA (r=0.833). Waller et al. menggunakan 99mTc-DTPA dan membandingkan dengan penghitungan clearance yang sampel darahnya diambil pada jam ke-2 dan ke-4 dengan teknik pengambilan sampel darah sebanyak 7 kali selama 4 jam dengan pengambilan yang pertama pada jam ke-1 dan dilanjutkan setiap 30 menit. Hasilnya, diperoleh hubungan yang sempurna (r=0.996) dan lebih baik bila dibandingkan dengan menggunakan pengambilan sampel pada jam ke-1 dan ke-2 atau jam ke-2 dan ke-3. Hal ini dipercaya karena disebabkan oleh belum terjadinya keseimbangan pada saat itu. 2


Teknik Sampel Darah Tunggal

Teknik ini memiliki prinsip dalam menentukan suatu hubungan semiempiris antara clearance perunut di dalam plasma (merupakan akibat dari proses GFR) dan distribusi volume yang merupakan aktivitas yang disuntikkan dibagi dengan aktivitas sampel di dalam plasma. Prinsipnya adalah mengukur konsentrasi 99mTc-DTPA di dalam plasma pada waktu tertentu dan dibandingkan dengan jumlah perunut disuntikkan dengan menggunakan teknik laboratorium in vitro yang telah distandarisasi. Persentase perunut yang disuntikkan yang tinggal di dalam darah pada saat itu akan lebih rendah pada pasien dengan nilai GFR yang normal bila dibandingkan dengan pasien yang fungsi ginjalnya telah berkurang. 2

Russel et al. menunjukkan suatu metode untuk menghitung GFR total oleh teknik clearance plasma dengan pengambilan sampel darah tunggal. Russel melaporkan bahwa waktu optimal untuk pengambilan sampel adalah pada menit ke-180 setelah penyuntikkan 99mTc-DTPA, walaupun waktu yang terbaik untuk pengambilan sampel sebenarnya tergantung dari kondisi fungsi ginjal itu sendiri. Penentuan GFR dengan menggunakan teknik ini memiliki kesepakatan yang erat dengan 51Cr-EDTA sebagai standar emas karena clearance-nya serupa dengan inulin. 2

Teknik sampel darah tunggal ini juga dilaporkan telah memberikan hasil yang valid pada anak-anak dalam mengukur nilai GFR. Tauxe et al. menghitung nilai GFR pada 30 anak dengan usia berkisar 4-16 tahun menggunakan prosedur teknik yang sama pada orang dewasa, didapatkan hasil waktu optimal untuk pengambilan sampel darah adalah pada menit ke-91. Bahkan, teknik ini juga dapat digunakan pada semua kondisi fungsi ginjal. 2


Teknik Clearance Cairan Urin

GFR dapat diukur berdasarkan kecepatan munculnya perunut di dalam urin, dan menurut teori nilainya akan sama bila ditentukan dari teknik pengambilan sampel darah. Jackson et al. membandingkan teknik ini dengan kreatinin clearance selama 24 jam pada 13 pasien dan menemukan hubungan yang baik (r=0.968). Jackson mengukur aktivitas ekskresi di kandung kemih pada 30 menit setelah penyuntikan perunut dan dibandingkan dengan aktivitas dalam plasma yang diperoleh dari teknik sampel plasma pada 30 menit. Teknik ini memiliki keuntungan dapat digunakan pada semua volume distribusi perunut dari setiap pasien. Tapi teknik ini juga memiliki kelemahan yang penting yaitu tidak baik digunakan pada pasien dengan retensi urin. 2

Semua nilai GFR yang diperoleh dari teknik pengambilan sampel darah dan urin tetap membutuhkan pecitraan dengan menggunakan teknik kamera gamma untuk menentukan persentase penangkapan dari perunut yang kemudian digunakan untuk membagi nilai GFR bagi kedua ginjal. 2

Teknik Kamera Gamma

Keinginan untuk menghitung nilai GFR secara cepat di klinis tanpa menggunakan pengambilan sampel darah atau urin telah membuat berkembangnya teknik pencitraan kamera gamma dengan menggunakan 99mTc-DTPA. Alasan yang lain yang mendorong perkembangan teknik ini adalah keinginan untuk memperoleh nilai GFR dalam bentuk terpisah bukan dalam bentuk nilai GFR total yang akan memberikan keuntungan tersendiri. 2

Perhitungan GFR dengan teknik pencitraan kamera gamma berdasarkan prinsip bahwa jumlah penangkapan radioaktif yang menggambarkan filtrasi radioaktif selama waktu pengukuran, asalkan tidak terjadi ekstravasasi dan ekskresi selama waktu tersebut. 8

Penggunaan pemeriksaan GFR dengan metode ini biasanya ditujukan untuk menilai perfusi dan fungsi ginjal serta juga untuk menilai fungsi ginjal setelah terjadi trauma. Radiofarmaka yang digunakan adalah 99mTc-DTPA dengan dosis aktivitas sebanyak 5 mCi yang disuntikkan melalui intravena secara bolus. 8

Tidak ada persiapan khusus terhadap pasien yang akan menjalani pemeriksaan GFR dengan metode ini, hanya sebaiknya pasien dalam keadaan terhidrasi dengan baik. Sebelum memasuki ruangan pemeriksaan, pasien disarankan untuk buang air kecil dahulu. Kemudian pasien diposisikan tidur terlentang dan detektor ditempatkan sedemikian rupa sehingga ginjal dan kandung kemih berada di lapang pandang pencitraan dari proyeksi posterior. Pencitraan dilakukan secara dinamik dengan menggunakan matriks 128x128. Seluruh data kasar digabung, kemudian dibuatkan ROI pada kedua ginjal dan area dibawah masing-masing ginjal untuk substaksi latar belakang. Cacahan kedua ginjal ditentukan pada interval 2 sampai 3 menit pertama setelah penyuntikan radifarmasi. 8

Penangkapan 99mTc-DTPA oleh ginjal dihitung dari persentasi dosis yang diberikan. GFR kemudian dihitung dengan pengumpulan data subyek, yaitu penangkapan ginjal antara 2-3 menit setelah penyutikan yang akhirnya akan didapatkan persentase penangkapan oleh ginjal kanan dan kiri. Nilai normal GFR untuk metode ini adalah 125 ± 15 ml/menit. 8

Gates, melakukan penelitian pada 51 pasien dewasa dan mendapatkan hubungan yang baik antara 99mTc-DTPA dengan kreatinin clearance selama 24 jam (r=0.97). Gates mengembangkan metode yang cepat untuk menentukan nilai total GFR dan juga nilai GFR secara terpisah dengan menggunakan kamera gamma tanpa membutuhkan pengambilan sampel darah ataupun urin. Gates menentukan akumulasi 99mTc-DTPA di dalam ginjal selama 2-3 menit setelah perunut disuntikan dan disebut sebagai persentase dari cacahan yang disuntikan, setelah background dan kedalaman ginjal dikoreksi terlebih dahulu. Nilai GFR total dan secara terpisah ditentukan dengan fraksi penangkapan perunut pada setiap ginjal setelah 99mTc-DTPA ditangkap oleh ginjal. Teknik juga sudah teruji pada penelitian Gates yang lainnya dengan menggunakan 44 pasien yang berbeda dan memperoleh hasil yang serupa dengan penelitian sebelumnya (r=0.98).

Secara umum teknik kamera gamma sedikit kurang akurat bila dibandingkan dengan pengitungan dengan teknik in vitro, namun teknik kamera gamma unggul dalam hal mudah dilakukan, hasilnya dapat diulang kembali, dan terbukti sesuai untuk kondisi klinis. Teknik pengambilan sampel lebih banyak memakan waktu daripada teknik kamera gamma karena pada teknik pengambilan sampel membutuhkan ketepatan waktu dalam pengambilan sampel darah (diambil sampai 3 jam setelah perunut disuntikan) dan dibutuhkan tingkat ketelitian yang tinggi dalam menganalisa sampel darah. Selain itu juga peralatan laboratorium perlu distandarisasi secara akurat dan petugas laboratorium yang terlatih dalam menganalisa sampel darah agar terhindar dari kesalahan hasil.


ALIRAN PLASMA GINJAL EFEKTIF (Effective Renal Plasma Flow/ERPF)

ERPF adalah bagian dari aliran plasma ginjal yang mengalami perfusi ke jaringan sekresi ginjal, tidak termasuk fraksi kecil yang mengalami perfusi ke lemak, pelvis, dan kapsul. ERPF merupakan salah satu parameter yang lebih dapat dipercaya untuk mendeteksi gangguan fungsi ginjal pada penderita dengan hipertensi esensial. 8

Suatu zat yang diekstraksi secara sempurna oleh ginjal (rasio ekstraksi 100%) dapat digunakan untuk mengukur aliran plasma ginjal total. P-Aminohippuric acid (PAH) adalah zat yang mendekati syarat tersebut walaupun rasio ekstraksi-nya hanya 85-95 %, sehingga PAH dapat digunakan untuk memperkirakan nilai ERPF. Namun PAH tidak dilakukan secara rutin di klinis, karena prosedur pemeriksaannya membutuhkan waktu yang lama dan analisanya membutuhkan analisa secara kimia atau khromatograpi. 2

Ortho-Iodohippuric acid (hippuran) adalah suatu analog dari P-Aminohippuric acid (PAH). Hippuran pertama kali dilabel dengan 131I dan selanjutnya dengan menggunakan 125I dan 123I. Hippuran memiliki clearance yang lebih tinggi dibandingkan dengan radiofarmaka yang lainnya, walaupun clearance hippuran diperkirakan 10 % lebih rendah dari PAH namun secara klinis berguna untuk mengukur ERPF. Hippuran memiliki struktur dan sistem transport aktif yang mirip dengan PAH. Hippuran telah digunakan secara luas sebagai suatu tubular function agent karena memiliki nilai efisiensi ekstraksi yang lebih tinggi dari radiofarmaka yang digunakan pada pemeriksaan GFR, dan memberikan rasio ginjal terhadap background yang lebih tinggi sehingga dapat mendeteksi penyakit ginjal yang ringan dan yang tidak dapat dideteksi oleh radiofarmaka untuk GFR. 2 Hippuran juga digunakan untuk pemeriksaan ginjal dan saluran kemih pada bayi dan anak-anak. 2,3

Namun, penggunaan hippuran yang dilabel dengan 123I tidak diterima secara luas di Amerika Serikat karena harganya yang mahal, sulit didapat dan dapat juga diganti dengan 99mTc sebagai alternatif untuk tubular secretory function agent. 2,3

Pemeriksaan ERPF ini diindikasikan untuk menilai perfusi dan fungsi ginjal, menilai fungsi ginjal setelah trauma, dan uji saring pada pasien hipertensi esensial. Radiofarmaka yang digunakan adalah 131I-hippuran sebanyak 300 uCi atau 99mTc-MAG3 dengan dosis aktivitas sebanyak 5 mCi yang disuntikkan secara intravena secara bolus. 8

Pada pemakaian radiofarmaka 131I-hippuran , penderita sebelumnya diberi larutan lugol 10 tetes untuk memblok jaringan tiroid agar tidak menangkap 131I. Penderita harus dalam keadaan terhidrasi dengan baik dengan cara diberikan minum 500 mL sebelum pemeriksaan. Kandung kemih penderita diusahakan dalam keadaan kosong dengan buang air kecil terlebih dahulu sebelu dilakukan pemeriksaan. 8

Pasien diposisikan terlentang dengan detektor ditempatkan sedemikian rupa sehingga ginjal dan kandung kemih berada dalam lapang pandang pencitraan dari proyeksi posterior. Teknik pencitraan dilakukan secara dinamik dengan matriks 128x128. Setelah itu seluruh data kasar digabung, kemudian dibuat ROI pada kedua ginjal serta dibawah kedua ginjal untuk substraksi latar belakang, didapatkan kurva aktivitas terhadap waktu. Pengukuran penangkapan ginjal radiofarmaka dilakukan pada 1-2 menit setelah titik injeksi dari kurva renografi yang mencerminkan total ERPF pada masing-masing ginjal. 8

Pemeriksaan ERPF dengan metode lain adalah dengan cuplikan plasma tunggal, menggunakan 131I-hippuran 44 menit setelah penyuntikan. Fraksi filtrasi (FF) adalah rasio antara GFR dan ERPF yaitu fraksi dari plasma dalam glomerulus yang ditransfer ke daerah kapsula Bowman’s sebagai filter. Nilai normal FF adalah 18-22 % atau berkisar yang berarti jumlah filtrasi glomerulus adalah kurang lebih seperlima jumlah plasma yang melalui ginjal. Nilai GFR berkisar 20 % dari ERPF. 2 Pada penyakit jantung kongestif nilai FF meningkat. Pada glomerulopati karena nilai GFR menurun maka FF juga menurun. 8

Nilai normal untuk ERPF adalah 491 – 817 ml/menit/1,73 m2 untuk pria, dan 439-745 ml/menit/1,73 m2 untuk wanita. 8



V. PEMERIKSAAN RENOGRAFI PADA PEDIATRIK

Pemeriksaan ginjal dengan menggunakan kedokteran nuklir adalah prosedur yang cukup sering dilakukan, terutama pada anak-anak. Pemeriksaan kedokteran nuklir ini diperlukan dalam mendiagnosa awal dan follow-up dari penyakit genito-urinary pada anak-anak, seperti infeksi saluran kemih (ISK), hidronephrosis neonatal, dan reflux vesikoureteral. 7

Pada bayi baru lahir, parameter fungsi ginjal seperti GFR dan aliran plasma ginjal rendah, dan akan meningkat dari ± 30 mL/min/1.73 m2 luas permukaan tubuh pada saat lahir dan menjadi mendekati nilai normal dewasa pada usia dua tahun. Pada saat baru lahir, tubulus ginjal kurang matur bila dibandingkan dengan glomerulus, namun maturitas tubulus lebih cepat dari pada glomerulus. Imaturitas ginjal pada bayi baru lahir akan mempengaruhi penggunaan pemeriksaan renografi selama bulan pertama kehidupan. 7

Pada bayi, besarnya ruang ekstravaskuler akan mengakibatkan rendahnya konsentrasi plasma untuk berdifusi dari setiap zat yang disuntikkan. Hal inilah, bersama dengan tingkat imaturitas ginjal, yang dapat menjelaskan mengapa sidik ginjal pada neonatus dengan menggunakan 99mTc-DTPA akan memberikan penangkapan ginjal yang buruk, aktivitas background yang tinggi dengan rasio signal-to-noise yang rendah dan waktu transit pada ginjal yang cepat. 7

Bila menggunakan 99mTc-MAG3 yang memiliki ikatan protein yang tinggi (90 %) akan menyebabkan konsentrasi plasma yang tinggi dan distribusi ruang ekstravaskuler yang rendah. Jika ditambahkan dengan nilai efisiensi ekstraksi 99mTc-MAG3 yang lebih besar dari 99mTc-DTPA, maka akan memberikan hasil pencitraan ginjal yang lebih baik dan rasio signal-to-noise yang tinggi. Oleh sebab itu, 99mTc-MAG3 adalah radiofarmaka pilihan dalam pemeriksaan ginjal dinamik pada anak-anak, terutama yang dibawah usia 2 tahun. Sidik ginjal dinamik dengan kualitas yang tinggi dapat dialakukan dengan menggunakan 99mTc-MAG3 pada usia 2 sampai 4 minggu setelah lahir. 7

Pada pemeriksaan pediatrik, dosis radiofarmaka harus menggunakan skala. Untuk kenyamanan sebaiknya Berat Badan perlu diketahui. Namun, fraksi dosis yang digunakan berdasarkan luas permukaan tubuh. 7


SIDIK GINJAL DENGAN MENGGUNAKAN 99mTc-DMSA

Massa ginjal fungsional dapat ditunjukkan dengan menggunakan 99mTc-DMSA, suatu radiofarmaka yang akan ditangkap oleh sel-sel tubulus proksimal di korteks ginjal dan nephron juxtamedullary setelah diekstraksi dari ruang peritubular, dan setelah filtrasi serta reabsorbsi. 99mTc-DMSA disimpan pada tubulus proksimal dan selanjutnya tidak akan dilepas. 7,10

Pemeriksaan dengan menggunakan 99mTc-DMSA dilakukan untuk mendeteksi adanya luka parut pada ginjal dalam melakukan follow-up dari ISK pada anak-anak, mendeteksi adanya keterlibatan parenkim selama demam pyelonephritis akut, menilai fungsi relative ginjal ketika satu ginjal memiliki fungsi yang buruk atau terdapat lesi desak ruang, mendeteksi adanya kelainan kongenital seperti ginjal dupleks abnormal, ginjal kecil, ginjal displastik, dan ginjal tapal kuda. Selain itu sidik ginjal dengan menggunakan 99mTc-DMSA dapat juga membedakan antara pseudotumor dengan tumor, mendeteksi adanya ektopik ginjal, serta dapat dilakukan untuk pemeriksaan ginjal radiologis pada pasien-pasien yang alergi terhadap zat kontras.







Gambar. Pemeriksaan sidik ginjal dengan menggunakan 99mTc-DMSA pada anak laki-laki berusia 5 bulan. Dari pencitraan tampak adanya scarring yang luas pada pole bawah ginjal kanan (diambil dari jurnal : Renal Cortical Scintigraphy and Diuresis Renography in Infants and Children).


Pada persiapan radiofarmakanya, 99mTc-DMSA harus dicampur kembali dengan 99mTc-pertechnetate dan harus sudah digunakan dalam waktu 30 menit. Jika terjadi oksidasi maka akan mengurangi reabsorbsi pada tubulus dan meningkatkan ekskresi cairan urin, maka harus berhati-hati dalam persiapan radiofarmaka agar tidak terjadi oksidasi. Obat harus disiapkan berdasarkan instruksi dari pabrik yang membuatnya.7

Sebelum dilakukan pemeriksaan pasien atau orang tua dari pasien dijelaskan mengenai prosedur pemeriksaan. Tidak diperlukan persiapan khusus pada orang dewasa. Persiapan anestesi pada kulit sebelum penyuntikan disarankan untuk dilakukan pada anak-anak. Dosis 99mTc-DMSA pada orang dewasa adalah 80-100 MBq (2-2,5 mCi) disuntikkan secara intravena. Untuk bayi dan anak-anak, dosis dikoreksi dengan menggunakan skala berdasarkan luas permukaan tubuh, namun dosis minimal sebesar 15 MBq (0,4 mCi) dapat diberikan. 7,10

Pencitraan dapat dilakukan antara 2 dan 4 jam setelah penyuntikan. Anak-anak harus diposisikan senyaman mungkin pada saat menghadap kamera, dan dalam posisi supine atau duduk bila perlu menggunakan tempat tidur khusus yang dapat menjaga anak-anak atau bayi agar tidak bergerak pada saat pencitraan. 7,10

Pada orang dewasa, akuisisi gambar diambil secara posterior, anterior, oblik posterior kiri dan kanan. Pada anak-anak, akuisisi gambar posterior dirasa sudah cukup dan akuisisi gambar anterior diperlukan bila satu atau kedua ginjal terdapat kelainan posisi. Akuisisi gambar pelvis diambil bila satu atau kedua ginjal tidak terlihat. 7

Secara normal kontur ginjal halus dan dikelilingi oleh kontras diantara bagian korteks luar dan bagian medial dari ginjal. Pencitraan yang terlihat seperti coretan dan contour ginjal yang “lembut” menunjukkan bahwa pasien bergerak pada saat akuisisi gambar. 7

Gambaran varian normal pada pemeriksaan sidik ginjal dengan 99mTc-DMSA dapat ditemukan suatu kontur ginjal yang rata tanpa adanya lesi, terutama pada sisi lateral atas pada ginjal kiri. Pada anak-anak yang lebih muda, ginjal mungkin akan berbentuk segitiga dengan sisi luar yang rata. ”Slender” kidney dengan ciri aksis transversal yang pendek pada akuisisi gambar posterior adalah normal dan hal ini disebabkan karena ginjal yang berotasi. Terkadang aksis transversa ginjal pada pole atas lebih pendek sehingga dapat memberikan gambara seperti buah pear. Pada pole atas terkadang tampak seperti hipoaktif karena kontras di bawah kolom Bertin hiperaktif, hal ini juga dapat disebabkan oleh pergerakan pada saat respirasi. Jumlah dan ukuran dari kolom Bertin berbeda pada setiap pasien. 7,10

Sedangkan gambaran yang abnormal pada pemeriksaan sidik ginjal dengan 99mTc-DMSA adalah fungsi relative ginjal diluar dari nilai normal yaitu 45-55 %. Sering ditemukan daerah dengan penangkapan yang kurang, tanpa gangguan pada korteks. Kelainan ini dapat ditemukan pada pielonephritis akut yang telah sembuh atau berkembang menjadi lesi permanen. Kaliks yang berdilatasi dapat menyebabkan gangguan pada parenkim, hal ini dapat disebabkan oleh kista atau lesi desak ruang. Dalam mendiagnosa suatu luka parut membutuhkan defek pada korteks dan defek penangkapan parekim. Jumlah dan lokasi defek perlu dilaporkan. Waktu pencitraan merupakan suatu hal yang penting. Pencitraan pada saat ISK dapat menunjukkan defek karena infeksi pada ginjal. Sedangkan pencitraan tiga, atau mungkin enam bulan kemudian akan menunjukkan apakah defek yang terjadi ini telah sembuh atau bahkan telah menjadi luka parut. Luka parut dapat ditemukan tanpa adanya refluk vesikoureter, dan refluk dapat ditemukan tanpa adanya luka parut. Fungsi ginjal yang buruk juga akan meningkatkan penangkapan pada hepar. Suatu pemeriksaan radiologi IVP yang dicurigai adanya suatu lesi desak ruang yang menunjukkan pemeriksaan sidik ginjal 99mTc-DMSA yang normal disebut pseudotumor. 7,10


SISTOGRAFI

Refluks Vesicourether (RVU) didiagnosa sejak awal kehidupan karena hidronephrosis yang terdeteksi pada masa prenatal atau didiagnosa pada masa kanak-kanak setelah terjadi penyakit infeksi saluran kemih (ISK). Strategi penatalaksanaan termasuk dengan pengobatan konservatif dengan profilaksis antibiotik dan follow-up, atau dengan operasi antirefluks. Secara umum, neonatus diobati secara konservatif karena diharapkan RVU dapat terkoreksi secara spontan pada 45-70 % kasus.Koreksi spontan diharapkan terjadi pada usia 2 tahun awal kehidupan. Komplikasi jangka panjang, seperti insufisiensi renal, hipertensi, dan komplikasi lain yang berhubungan dengan kehamilan, berhubungan dengan terjadinya luka parut setelah pielonefritis. Strategi diagnostik termasuk pencitraan dengan menggunakan 99mTc-DMSA untuk mendeteksi adanya luka parut dan Voiding Cystourethrography (VCUG) untuk mendiagnosa dan menentukan derajat intensitas dari refluks. 10



Tabel. Klasifikasi refluks. (diambil dari : Radionuclide Investigations of the Urinary Tract in the Era of Multimodality Imaging).




Pemeriksaan Sistografi terdiri dari dua jenis pemeriksaan, yaitu sistografi secara langsung dan tidak langsung. Sistografi secara langsung adalah suatu pemeriksaan yang merupakan metode alternatif untuk VCUG dengan paparan radiasi yang lebih rendah. Pemeriksaan ini sama invasifnya dengan pemeriksaan VCUG, karena menggunakan kateter kandung kemih namun lebih sensitif bila dibandingkan dengan VCUG karena akuisisi pencitraan yang berlanjut selama fase pengisian dan perkemihan. Sistografi secara langsung memberikan informasi dibawah kondisi nonfisiologis, berbeda dengan pemeriksaan sistografi secara tidak langsung. 10

Sistografi secara tidak langsung biasanya dilakukan setelah renografi konvensional dengan menggunakan 99mTc-MAG3 atau 123I-OIH sehingga memberikan informasi dalam kondisi fisiologis tanpa harus menggunakan kateter kandung kemih dan memberikan paparan radiasi yang juga lebih rendah bila dibandingkan dengan VCUG. Sensitifitas dan spesifisitas dari pemeriksaan sistografi secara tidak langsung lebih rendah bila dibandingkan dengan VCUG dan sistografi secara langsung, namun masih cukup untuk digunakan sebagai metode follow-up pada kasus RVU. Berdasarkan pedoman pemeriksaan sistografi harus dilakukan pada anak yang sudah terlatih untuk buang air kecil di toilet sendiri. Namun berdasarkan pengalaman beberapa ahli, pemeriksaan sistografi secara tidak langsung ini juga mudah dilakukan pada neonatus dan bayi dan dapat memberikan informasi tambahan pada renografi tanpa menambahkan dosis radiasi tambahan atau prosedur invasif. Kelemahan dari pemeriksaan sistografi baik langsung maupun secara tidak langsung yang utama adalah tidak dapat memberikan informasi anatomi atau memberikan derajat dari RVU. 10




Gambar. Pada gambar G adalah pemeriksaan sistografi secara tidak langsung menunjukkan Refluks Vesikoureteric (RVU) pada sistem saluran kemih bagian bawah kanan dan kiri. (diambil dari :



Fungsi dari saluran kemih adalah membawa cairan urin dari duktus kolekting ginjal melalui kalises, pelvis ginjal, ureter, kandung kemih, dan akhirnya ke saluran pembuangan. Kandung kemih hanya sebagai organ penyimpan saja. Pemacu kontraksi dibantu oleh tekanan hidrostatik dan tekanan nefron yang mendorong urin dari kaliks minor ke pelvis ginjal distal dan ureter. 8

Kerja normal dari katup ureterovesical junction bergantung kepada masuknya ureter ke kandung kemih, panjang yang sesuai dari ureter intramural, kontraksi otot ureterotrigonal dan kerja aktivitas peristaltik ureter. Pasase urin retrograde biasanya disebabkan oleh refluks vesiko ureteral. 8

Radiofarmaka disuntikkan ke kandung kemih dalam keadaan penuh. Dengan memberikan tekanan di kandung kemih dengan cara mengedan, maka bila terjadi gangguan kerja katup, tekanan yang meningkat di dalam kandung kemih akan menyebabkan terjadinya aliran radiofarmaka ke arah proksimal. 7,8

Radiofarmaka yang digunakan biasanya adalah 99mTc-pertechnetate dengan aktivitas 1 mCi, disuntikkan langsung ke dalam kandung kemih untuk teknik metode sistografi secara langsung atau melalui kateter yang didorong oleh NaCl 0,9 % sebanyak 500 mL (sistografi retrograde). 8

Untuk persiapan yang perlu dilakukan sebelum pasien menjalani pemeriksaan adalah pasien disarankan untuk minum yang banyak sampai kandung kemih penuh. Setelah itu dilakukan tindakan aseptik di daerah pubis kemudian spuit 20 cc disuntikkan langsung ke dalam kandung kemih, aspirasi urin untuk memastikan jarum masuk ke dalam kandung kemih. 99mTc-pertechnetate sebanyak 1 mCi disuntikkan ke dalam kandung kemih melalui jarum yang sudah dipastikan masuk ke kandung kemih. 7,8

Untuk pemeriksaan yang menggunakan kateter, kandung kemih harus kosong kemudian melalui kateter kandung kemih diisi air dengan tekanan hidrostatik 70-90 cmH20 yang telah dicampur dengan 99mTc-pertechnetate. Pasien diposisikan duduk pada pispot dengan detektor ditempatkan di belakang bokong pasien sedemikian rupa sehingga bagian permukaan atas kandung kemih, ureter dan ginjal berada dalam lapang pandang detektor. Pencitraan dilakukan secara statik dengan matriks 256 x 256. Pencitraan diambil saat penderita mengedan tanpa buang air kecil (BAK), mengedan dengan BAK, kemudian setelah BAK. 7,8

Penilaian adanya refluks berdasarkan sistem gradasi, sebagai berikut 8 :

1. Ringan (derajat 1 dan 2), tampak radioaktivitas di distal ureter.

2. Sedang (derajat 3), radioaktivitas di sistem pelvokalises.

3. Berat (derajat 4 dan 5), radioaktivitas berlebih terlihat di sistem koleksi ginjal.


VI. KESIMPULAN

Pemeriksaan kedokteran nuklir merupakan suatu metode pemeriksaan dalam membantu para klinisi untuk mendiagnosa dan juga melakukan follow-up pada pasien. Dalam memilih metode pemeriksaan yang tepat bagi pasien maka para klinisi haruslah mengetahui apa kelebihan dan kelemahan dari metode pemeriksaan yang dipilih, agar pasien tidak dibebankan oleh pemeriksaan penunjang yang tidak perlu. Pemeriksaan kedokteran nuklir di bidang nefrourolgi banyak dipakai oleh para klinisi terutama oleh ahli ginjal dan hipertensi dalam menentukan diagnosa sekaligus menentukan fungsi ginjal dalam melakukan follow-up pasien. Namun pemeriksaan kedokteran nuklir pada nefrourologi juga dapat dimanfaatkan oleh klinisi yang lain. Apabila dikombinasikan dengan metode pemeriksaan yang lain maka akan memberikan informasi yang sangat bermanfaat bagi para klinisi dalam melakukan follow-up terhadap pasien.

Peranan prosedur pemeriksaan kedokteran nuklir dalam pemeriksaan fungsi ginjal dan kelainan saluran kemih sudah dipahami dengan baik. Paparan radiasi yang rendah, dan prosedur pemeriksaan yang sederhana dalam persiapan pasien sehingga pemeriksaan kedokteran nuklir ini menjadi mudah dikerjakan. Selain itu para klinisi juga perlu mengetahui tentang patofisiologi dari ginjal dan juga perlu mengetahui keterbatasan dan kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi pada pemeriksaan kedokteran nuklir ini, agar para klinisi dapat memberikan data yang akurat mengenai perfusi dan fungsi dari ginjal dan saluran kemih. Selama peranan pemeriksaan kedokteran ini dapat dipahami dengan baik dan jelas di antara metode pemeriksaan-pemeriksaan yang lainnya dalam menilai kelainan saluran kemih, maka pemeriksaan kedokteran nuklir untuk ginjal dan saluran kemih akan terus berlanjut untuk memberikan informasi yang penting bagi penatalaksanaan dan perawatan pasien pada bidang nefrourologi.

Apabila dikerjakan dengan prosedur yang benar maka pemeriksaan renografi adalah suatu metode diagnostik yang sensitive dalam mendeteksi, menilai, dan mengelompokkan sejumlah penyakit pada ginjal. Manipulasi dengan obat-obatan dapat meningkatkan sensitivitas dalam mendeteksi dan menilai kondisi dari suatu penyakit. Pemeriksaan renografi ini juga dapat memberikan beberapa parameter fungsi ginjal secara akurat. Bila dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan dengan metode yang lain, maka akan memberikan hasil yang maksimal dalam bidang diagnosa.





VII. DAFTAR PUSTAKA

1. John C. Harbert MD, Mary P. Andrich, M.D., Patrick J. Peller, M.D. The Genitourinary System. In: John C. Harbert WCE, Ronald D. Neumann., ed. Nuclear Medicine Diagnosis and Therapy. New York: Thieme Medical Publisher, Inc. 1996:713-43.

2. Henkin RE. Genitourinary. In: Allan Ross HK, ed. Nuclear Medicine. Philadelphia, Pennsylvania: Mosby, Inc. 2006:1004-108.

3. HJ. Testa MPFF, MC Prescott, MB. Clinician's Guide to Nuclear Medicine Nephrourology. 1st edition ed. London: British Nuclear Medicine Society 1996.

4. Britton KE. Kidney and urinary tract. In: M.N Maisey KEB, B.D. Collier, ed. Clinical Nuclear Medicine. Third edition ed. London: Chapman & Hall Medical 1998:389-437.

5. George A. Tanner PD. Kidney Function. In: Rodney A. Rhoades PDaGAT, Ph.D., ed. RENAL PHYSIOLOGY AND BODY FLUIDS.

6. Ganong WF. Review of Medical Physiology. In: Janet Foltin JM, Jim Ransom, and Karen Davis., ed. Formation & Excretion of Urine McGraw-Hill Companies, Inc. 2003.

7. IAEA. Nuclear Medicine Resources Manual. Sales and Promotion Unit, Publishing Section International Atomic Energy Agency 2006.

8. Johan S. Masjhur. Buku Pedoman Tatalaksana Diagnostik dan Terapi Kedokteran Nukir. In: Nuklir K, ed.:41-54.

9. Katzung edisi 8

10. Ariane Boubakery JOP, Jean-Yves Meuwly, and Angelika Bischof-Delaloye. Radionuclide Investigations of the Urinary Tract in the Era of Multimodality Imaging. THE JOURNAL OF NUCLEAR MEDICINE. 2006 November 2006;Vol. 47:1819–36.

11. Yiyan Liu M, PhD; Nasrin V. Ghesani, MD; Joan H. Skurnick, PhD; and Lionel S. Zuckier, MD. The F+0 Protocol for Diuretic Renography Results in Fewer Interrupted Studies Due to Voiding Than the F-15 Protocol. THE JOURNAL OF NUCLEAR MEDICINE. 2005 Apr. 19, 2005;Vol. 46:1317–20.

12. Lele R. Radionuclide in Nephrourology. Principle and Practice of Nuclear Medicine and Correlative Medical Imaging. 1st edition ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher (P) LTD. 2009:275-312.