Sabtu, 28 November 2009

Laporan Kasus : Refluks Vesikoureter (RVU)

Latar Belakang


Refluks vesikoureter (RVU), adalah suatu keadaan berbaliknya aliran cairan urin (retrograde) dari vesika urinaria (VU) ke ureter. RVU merupakan akibat dari suatu kelainan anatomi dan fungsional saluran kemih yang dapat mengakibatkan komplikasi serius pada ginjal. RVU dapat berhubungan dengan infeksi saluran kemih (ISK), hidronefrosis, dan kelainan kongenital pada ginjal dan saluran kemih. RVU diperkirakan terjadi pada 40 % dari pasien-pasien dengan ISK bagian atas. Beberapa ahli yang lain mengatakan bahwa angka kejadian RVU pada pyelonefritis sebanyak 22% sampai 52%. Angka kejadian RVU lebih tinggi pada anak-anak dengan ISK. 1,2

Tujuan dari manajemen terapi pada RVU saat ini, yaitu pertama, mencegah terjadinya episode pielonefritis akut. Kedua, mencegah terjadinya scarr (luka parut) pada ginjal yang berhubungan dengan RVU dan akan mengakibatkan hipertensi dan gagal ginjal di kemudian hari. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan suatu metode diagnostik yang efektif dan aman bagi pasien sehingga dapat digunakan sebagai metode pemantauan dan dapat menilai keberhasilan terapi. Metode pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah voiding cystourethrography (VCUG) dan radionuclear cystourethrography (RNC) yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosa RVU. Sidik ginjal dengan Technetium-99m dimercaptosuccinic acid (99mTc-DMSA) digunakan untuk menilai adanya kelainan parenkim ginjal yang disebakan oleh RVU. Ultrasonography (USG) digunakan untuk menilai ukuran ginjal. RVU harus tetap dipantau setiap tahun dengan menggunakan USG dan sistografi (RNC dan VCUG) sampai refluks sembuh spontan. 1,2


Presentasi Kasus

Seorang anak perempuan berusia 9 tahun, pada awal tahun 2007 memiliki riwayat demam yang tidak diketahui penyebabnya selama satu tahun sebelum didiagnosa sebagai suatu ISK. Dari alloanamnesa diketahui sebelum sakit pasien sering menahan keinginan untuk Buang Air Kecil (BAK). Setiap kali pasien menahan BAK pasien biasanya demam. Pada bulan Desember 2007, diperoleh hasil pemeriksaan VCUG menunjukan adanya suatu RVU kiri grade 3. Dari kultur cairan urin juga ditemukan pertumbuhan kuman Escherichia coli. Selama 1 tahun pasien mendapatkan terapi antibiotik peroral. Pada Januari 2009 dilakukan VCUG kembali dengan hasil pemeriksaan telah terjadi perburukan RVU kiri menjadi grade 4. Namun, setelah satu tahun pasien mendapatkan terapi antibiotik, terlihat perbaikan klinis pada pasien.

Pasien direncanakan untuk dilakukan operasi. Sebelum operasi dilakukan pemeriksaan renografi dan GFR terlebih dahulu untuk mengetahui fungsi ginjal, dan dilakukan pula pemeriksaan Indirect Radionuclida Cystography (IRC) dengan hasil menunjukan bahwa kedua ginjal masih berfungsi dengan fungsi ginjal kiri kurang dibandingkan ginjal kanan dengan gambaran obstruksi parsial kiri disertai refluks vesikoureter kiri (Uncorrected Glomerular Filtration Rate (GFR) kiri = 29.37 dan Uncorrected GFR kanan = 38.58). Hasil pemeriksaan USG tidak ditemukan adanya kelainan pada ginjal dan saluran kemih.

Operasi tidak dilakukan dengan alasan fungsi kedua ginjal masih cukup baik dan keadaan klinis yang membaik. Para klinisi masih mengharapkan terjadinya resolusi spontan dari RVU pada pasien ini. Pasien masih mendapatkan terapi antibiotik preventif. Pasien tidak memiliki keluhan hingga saat ini.


Diskusi

RVU terjadi akibat adanya kegagalan dari fungsi katup satu-arah yang terdapat di antara pertemuan vesikoureter. Kegagalan fungsi katup ini terjadi karena panjang saluran ureter pada submukosa muskulus detrusor kurang panjang atau penyokong ototnya tidak cukup. Rasio panjang-diameter dari saluran ureter submukosa yang ideal adalah 5:1. Akibat dari tidak sempurnanya fungsi katup tersebut dapat terjadi refluks cairan urin dari VU ke ureter bahkan bila kegagalan katup lebih berat refluks akan mencapai ginjal. Refluks cairan urin tersebut mengakibatkan masuknya bakteri dari saluran kemih bagian bawah ke saluran kemih bagian atas yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya pielonefritis. Hal ini akan menyebabkan kerusakan ginjal. Refluks yang steril dari kontaminasi bakteri, kecil kemungkinannya dapat merusak parenkim ginjal. Namun pada suatu percobaan pada hewan, refluks cairan steril juga dapat merusak parenkim ginjal sehingga dapat pula menyebabkan terjadinya scarr. Hal ini belum dapat diketahui secara pasti bila dapat terjadi pada manusia. 1,2


Etiologi

Etiologi dari RVU dibagi menjadi 2 jenis, yaitu primer dan sekunder. Dikatakan primer bila terdapat kelainan pada mekanisme katup satu-arah vesikoureter, sedangkan dikatakan sekunder bila terdapat perubahan faktor-faktor anatomi dan fungsi dari mekanisme katup satu-arah tersebut. 1,2

Penyebab primer dari RVU biasanya adalah kelainan kongenital. Contoh dari kelainan kongenital tersebut adalah saluran ureter submukosa yang pendek, dan orifisium ureter yang berada terlalu lateral. Penyembuhan spontan dari kelainan kongenital ini sangat besar kemungkinan terjadi pada RVU yang unilateral dan derajat refluks yang rendah. Sehingga biasanya penyembuhan dari penyebab primer adalah dengan cara mengkoreksi kelainan melalui operasi anti-refluks. 3,4

Penyebab sekunder yang paling sering adalah sistitis atau ISK. Namun dapat juga disebabkan oleh operasi atau pemasangan double J-stent. Kelainan fungsional atau struktural dari saluran kemih bagian bawah juga dapat menjadi penyebab sekunder dari RVU. Obstruksi saluran kemih bagian bawah yang disebabkan kelainan kongenital atau didapat seperti katup uretral, prostat hipertrofi, atau striktur uretra, atau neurological conditions yang dapat menyebabkan tekanan intravesika meningkat serta dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal bila penyebabnya tidak dikoreksi. 3,4

Pada pasien ini penyebab dari RVU adalah ISK. Kemungkinan penyebabnya dari kebiasaan pasien yang sering menahan BAK sehingga tekanan intravesika menjadi tinggi menyebabkan katup satu-arah pada sambungan ureterovesika tidak berfungsi dengan baik. Hal ini yang menyebabkan terjadinya RVU dan ISK bagian atas.


Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari pasien-pasien RVU dapat dibagi menjadi 2 golongan. Pertama adalah pada neonatus yang terdiagnosa pada saat prenatal. Dan yang kedua, adalah pada anak-anak dengan gejala klinis ISK. 1,2

Gambaran klinis RVU dapat terlihat pada masa prenatal, dimana hidronefrosis dan dilatasi saluran kemih bagian atas dapat terlihat dari pemeriksaan USG pada kehamilan tua (lebih dari sama dengan 28 minggu). Kurang lebih 10 % dari neonatus yang terdiagnosa yang memiliki hidronefrosis dan dilatasi saluran kemih bagian atas prenatal akan ditemukan memiliki refluks postnatal. Pada neonatus ini dapat hadir tanpa ada keluhan klinis, dan hanya dapat terdiagnosa melalui pemeriksaan rutin. 1,2,3,4

Anak-anak yang berusia lebih tua dapat ditemukan dengan gejala yang tidak khas untuk ISK seperti muntah, diare, anoreksia, dan letargi. Urgensi, frekuensi, disuria, nokturnal dan enuresis diurnal merupakan gejala khas yang sering muncul pada anak-anak dengan ISK. Anak-anak juga dapat mengeluhkan nyeri perut disertai nyeri tekan pada daerah pinggang. Bila keluhan disertai dengan demam maka akan menambah kecurigaan terjadinya pielonefritis, namun hal ini belum cukup untuk dignosa dari pielonefritis. Sehingga untuk diagnosa pielonefritis dibutuhkan suatu metoda pemeriksaan lebih lanjut lagi. Gejala lain yang berhubungan ISK adalah gagal tumbuh dan gangguan saluran cerna. 1,2,3,4

Pada pasien ini ditemukan keluhan klinis yang khas untuk ISK, namun dari alloanamnesa pasien mengeluh sering demam bila pasien menahan BAK. Tidak ada keluhan nyeri perut disertai nyeri tekan pada daerah pinggang. Tidak juga ditemukan suatu kelainan gangguan saluran cerna. Pertumbuhan dan perkembangan pasien masih sesuai dengan umur pasien.



Tabel.1 Gejala klinis dari RVU 5




Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosa pasti dari ISK tergantung pada hasil pemeriksaan kultur cairan urin. Cara pengambilan spesimen cairan urin yang standar adalah melalui aspirasi suprapubik. Namun prosedur ini jarang dilakukan di dalam praktek klinis sehari-hari. Cara pengambilan spesimen yang lain adalah kateterisasi uretral yang dapat memberikan spesifisitas yang lebih baik, hasil akan bermakna secara klinis bila ditemukan lebih dari 1.000 Colony-Forming Unit (CFU)/mL. Pada anak-anak yang sudah pandai berkemih sendiri dapat dilakukan pengambilan spesimen cairan urin aliran-tengah (mid-stream) untuk kultur. Hasil akan bermakna apabila ditemukan 100.000 CFU/mL dari spesimen tersebut. Cara alternatif lainnya adalah dengan pengambilan cairan urin dari kantong urin yang paling sering dikerjakan pada bayi. Apabila hasil yang ditemukan kurang lebih 10 % dari 50.000 CFU/mL yang tumbuh pada spesimen tersebut, maka hasil pemeriksan tidak ada hubungannya dengan infeksi yang terjadi. Hasil kultur yang negatif sangat membantu, karena walaupun pengambilan cairan urin dari kantong urin dapat memberikan hasil positif-palsu, hasil negatif-palsu jarang sekali terjadi. Hasil yang positif memerlukan pemeriksaan lebih lanjut lagi dengan kateterisasi ureteral, sehingga cara kantung urin sudah banyak ditinggalkan. 1,2

Walaupun jumlah leukosit, kadar C-reactive protein (CRP) serum, dan tes darah lainnya sering digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis, namun tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membedakan antara sistitis dengan pielonefritis. Pemeriksaan laoratorium lainnya termasuk pemeriksaan kimia darah untuk data dasar fungsi ginjal. Hitung darah lengkap dapat membantu klinisi menilai respon terapi. Urinalisa juga dapat membantu dalam menentukan adanya proteinuria, yang dapat menunjukkan suatu kerusakan pada ginjal. 1,2

Dari hasil pemeriksaan laboratorium pasien ini diperoleh hasil urinalisa ditemukan banyak leukosit dan bakteri yang mendukung adanya suatu ISK. Dari hasil pemeriksaan hematologi juga didapat peningkatan kadar sel darah putih dalam darah sehingga mendukung adanya suatu proses infeksi pada pasien ini. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan kultur darah dengan hasil kultur untuk bakteri Salmonella negatif, dan juga dilakukan pemeriksaan kultur cairan urin dengan hasil positif untuk pertumbuhan bakteri Escherichia coli. 1,2


Tabel.2 Pemeriksaan kultur urin






Pencitraan Diagnostik 1,2

Pencitraan adalah dasar dari diagnosa dan manajemen RVU. Standar untuk mencapai tujuan tersebut meliputi VCUG, walaupun masih banyak pemeriksaan yang lain yang dapat membantu menegakkan diagnosa RVU.

Indikasi pencitraan untuk menentukan kemungkinan adanya RVU dengan ISK adalah pada anak yang berusia kurang dari 5 tahun, semua kasus dengan demam pada ISK, dan semua kasus ISK pada anak laki-laki.

Beberapa ahli kini menggunakan pendekatan algoritma “top-down” untuk ISK pada anak-anak. Pada algoritma ini, bila seorang anak didiagnosa sebagai demam ISK maka pencitraan pertama yang dilakukan adalah sidik ginjal 99mTc-DMSA. Tujuannya adalah untuk menilai adanya bukti keterlibatan dari ginjal, scarr ginjal, atau kedua-duanya. Hasil negatif dari pemeriksaan ini bermakna secara klinis untuk tiadanya RVU, sehingga dapat menyingkirkan kebutuhan akan pemeriksaan VCUG. Namun, jika positif, maka VCUG direkomendasikan untuk dikerjakan.

RVU merupakan fenomena yang dapat muncul sewaktu-waktu tergantung dari keadaan pasien. Faktor yang mempengaruhi timbulnya suatu RVU diantaranya adalah status hidrasi pasien, volume VU, tekanan VU, dan teknik pemeriksaan. Volume VU dipengaruhi oleh ukuran tubuh pasien, usia pasien, status psikis, dan iritabilitas VU. Iritabilitas VU dapat disebabkan oleh suatu proses infeksi pada VU. Hal ini dapat memberikan perbedaan hasil pada pemeriksaan sistografi dengan radiologi maupun kedokteran nuklir.

Pada penelitian Aysun Sukan, et al yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan hasil dari 11 anak-anak penderita RVU, 6 anak terdeteksi positif memiliki RVU dengan menggunakan DRC dengan 5 anak diantaranya memiliki hasil pemeriksaan sidik ginjal DMSA positif. Sedangkan VCUG dapat mendeteksi 5 anak positif RVU dengan 3 anak diantaranya positif terhadap hasil pemeriksaan sidik ginjal DMSA. Dari hasil penelitian tersebut dapat terlihat bahwa pemeriksaan dengan DRC lebih sensitif bila dibandingkan dengan VCUG. Namun bila ditambahkan faktor usia, maka DRC akan terlihat lebih sensitif bila pemeriksaan sistografi dilakukan pada anak usia lebih muda (≤ 48 bulan). Sedangkan VCUG akan lebih sensitif bila dilakukan pada anak dengan usia yang lebih tua (49 – 156 bulan). Secara umum tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistic dari penelitian tersebut.10

Pasien ini dilakukan pemeriksaan VCUG atas indikasi demam dengan ISK. Dari hasil pemeriksaan didapatkan RVU kiri grade 4 dengan sistitis kronis dan ureter yang melebar. Hal ini menjadi dasar dari diagnosa RVU pada pasien ini. Selanjutnya pasien juga menjalani pemeriksaan renografi dan IRC untuk menilai fungsi ginjal dan mengkonfirmasi adanya RVU. Dari pemeriksaan renografi diperoleh hasil kedua ginjal masih berfungsi dengan fungsi ginjal kiri yang sudah kurang dan disertai dengan RVU kiri. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan sidik ginjal dengan DMSA karena metode pemeriksaan ini belum tersedia di Indonesia. Dari allo-anamnesa hasil pemeriksaan USG pada pasien ini masih dalam batas normal dan tidak ditemuakan adanya kelainan pada ginjal.



Teknik Radiologi

Kriteria standar dalam mendiagnosa RVU adalah menggunakan pemeriksaan VCUG. Pemeriksaan ini memberikan informasi anatomi secara detil dan memberikan derajat (grade) dari RVU. Sistem penderajatan yang umumnya digunakan adalah International Classification System, suatu kombinasi sistem yang sebelumnya digunakan di Eropa dan Amerika Serikat.




Gambar.1 Penderajatan RVU berdasarkan International Reflux System. Gambar mengilustrasikan 5 derajat (I-V) RVU. Derajat I menggambarkan refluks pada ureter. Derajat II menggambarkan refluks ke ureter dan system pelvikaliks yang tidak berdilatasi. Derajat III menggambarkan refluks pada ureter dan system pelvikaliks yang berdilatasi ringan. Sudut forniks dan gambaran papila masih terlihat jelas. Derajat IV menggambarkan refluks pada ureter yang bertorsi dan system pelvikaliks yang berdilatasi. Sudut forniks menjadi tumpul sementara gambaran papilla masih terlihat. Derajat V menggambarkan refluks pada ureter yang bertorsi dan jelas berdilatasi dan system pelvikaliks yang berdilatasi dengan jelas. Sudut forniks maupun papilla sudah tidak jelas lagi.

VCUG sebaiknya dilakukan setelah anak sembuh dari ISK. Apabila VCUG dilakukan selama episode sistitis akut, maka dapat memberikan hasil yang tidak akurat, hal ini karena adanya paralisis dan kelemahan dari otot ureter oleh endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri. Informasi tambahan dari VCUG adalah dapat memberikan pencitraan uretra yang berguna pada laki-laki untuk penilaian dari katup uretra posterior. VCUG dapat memberikan informasi mengenai kapasitas dan proses pengosongan VU serta dapat memberikan gambaran adanya obstruksi dari luar saluran kemih bagian bawah, seperti karena trabekula VU atau divertikulum. 1,2,3,4


Teknik Sistografi Radionuklida

RNC dengan memasukkan radiofarmaka 99mTc-pertechnetate ke dalam VU dan pencitraan dengan suatu kamera gamma adalah suatu prosedur pemeriksaan yang sangat sensitif untuk RVU. Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah penggunaan dosis radiasi yang lebih rendah dan dapat menambah sensitivitas karena dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih panjang untuk pengawasan. Paparan radiasi dari RNC adalah sekitar 10 % dari paparan VCUG dengan peralatan digital modern dan hanya sekitar 1 % dari VCUG dengan peralatan fluroskopi konvensional. Kelemahan utama adalah informasi anatomi yang kurang baik. Refluks grade I kurang terdeteksi dengan baik oleh pemeriksaan RNC karena ureter distal biasanya tertutup oleh VU. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan dalam mendeteksi RVU akan meningkat bila menggunakan fase pengisian VU yang multiple. Beberapa klinisi melakukan pemeriksaan RNC sebagai pemeriksaan deteksi awal pada perempuan kemudian dilakukan pemeriksaan standar VCUG apabila ditemukan RVU. Klinisi yang lain menggunakan VCUG untuk pemeriksaan diagnostik awal dan kemudian menggunakan RNC sebagai pemeriksaan pemantauan. Di bagian Kedokteran Nuklir RSHS Bandung derajat penilaian dari pemeriksaan RNC dapat dibagi menjadi tiga derajat penilaian, yaitu : 6
  1. Derajat ringan (derajat I dan II) tampak radioaktivitas di distal ureter.
  2. Derajar sedang (derajat III) tampak radioaktivitas di sistem pelvokalises.
  3. Derajat berat (derajat IV dan V) tampak radioaktivitas berlebih terlihat di sistem koleksi ginjal.
Radiofarmasi utama yang sering digunakan pada sidik ginjal untuk pielonefritis dan RVU adalah 99mTc-DMSA. Zat ini diserap secara cepat oleh sel-sel tubulus ginjal proksimal dan merupakan indikator yang baik untuk fungsi parenkim ginjal. Daerah yang terjadi peradangan akut atau scarr tidak akan menangkap radiofarmasi dan akan memberikan gambaran spot dingin pada pencitraan. Sidik DMSA memiliki 2 prinsip. Pertama, DMSA digunakan untuk mengenali dan mengawasi scar pada ginjal. Pasien yang dirawat dengan menggunakan obat-obatan dan memiliki scarr baru dan progresif sering disarankan untuk dilakukan operasi untuk memperbaiki RVU. Untuk alasan ini, beberapa klinisi mengambil sidik DMSA sebagai data dasar pada saat mendiagnosa yang dapat dibanding kan pada sidik berikutnya. DMSA juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik selama episode pielonefritis akut. Single-photon emission computed tomography (SPECT) adalah suatu teknologi evolusi dalam bidang pencitraan yang dapat memberikan resolusi yang lebih tinggi dan lebih akurat dalam mendeteksi scarr pada ginjal.



Ultrasonography (USG)

Kelebihan dari USG adalah dapat melakukan deteksi RVU tanpa radiasi. Pada suatu penelitian menggunakan penyuntikan micro-bubble sebagai suatu zat kontras didapatkan hasil sensitifitas 92 % dan spesifisitas 93 % bila dibandingkan dengan VCUG. Hampir sama dengan RNC, kelemahan utama dari pemeriksaan ini adalah kurangnya informasi anatomi yang tepat, dan metode ini masih digunakan terbatas hanya untuk penelitian saja. Tujuan utama dari USG ginjal adalah untuk menilai ukuran ginjal, ketebalan parenkim, dan dilatasi sistem saluran kemih. USG telah menjadi pemeriksaan deteksi pilihan untuk saluran kemih, menggeserkan penggunaan urografi IV karena tiadanya radiasi yang digunakan, tiadanya risiko dari komplikasi zat kontras, dan merupakan teknik yang tidak invasif. Namun USG tidak dapat mengeluarkan RVU dari diagnosa banding, dan hanya VCUG dan RNC yang dapat melakukannya. Sebagai tambahan, anak-anak dengan hydronephrosis prenatal harus dievaluasi kembali setelah kelahiran. USG dilaksanakan selama 3 hari pertama kelahiran yang dapat memiliki tingkat negatif-palsu yang tinggi, yang dapat disebabkan oleh keadaan dehidrasi selama periode neonatal. 1,2,3,4

Tabel.3 Pemeriksaan pencitraan pada RVU



Manajemen Pengobatan 1,2,3,4

Pengobatan

Pengobatan pada anak-anak dengan RVU bertujuan untuk mencegah infeksi ginjal, kerusakan ginjal, dan komplikasi dari kerusakan pada ginjal. Pilihan pengobatan pada saat ini adalah dengan pengawasan, terapi obat-obatan, dan obat-obatan. Walker, mengatakan prinsip-prinsip berikut ini dalam manajemen pengobatan RVU pada anak-anak adalah sebagai berikut :
  1. Sembuh spontan sering ditemukan pada anak-anak yang berusia muda.
  2. Refluks berat jarang dapat sembuh spontan.
  3. Refluks yang steril pada umumnya tidak mengakibatkan kerusakan pada ginjal.
  4. Profilaksis antibiotik aman diberikan pada anak, dan
  5. Operasi untuk memperbaiki RVU dapat berhasil, bila dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman.
Metode pengawasan jarang dilakukan oleh para klinisi, karena tidak sesuai dengan etika medikolegal terhadap risiko kerusakan ginjal. Para klinisi memberikan terapi profilaksis antibiotik dan telah memberikan hasil yang memuaskan. Penyembuhan spontan dari RVU sering dijumpai dan tergantung dari derajat RVU yang terjadi. Hampir 90% dari derajat I, 80% dari derajat II, 70% dari derajat III, 60% dari derajat IV akan sembuh dalam 5 tahun sejak munculnya RVU.

Terapi awal dari RVU dengan ISK adalah terapi pendukung dan pemberian dini dari antibiotik yang tepat. Pemberian antibiotik ini penting untuk pencegahan terbentuknya scar pada ginjal dengan pielonefritis. Pemberian antibiotik profilaksis harus dimulai sejak anak sembuh dari ISK dan dilanjutkan hingga paling tidak terlihat adanya RVU, apabila tidak ditemukan RVU maka antibiotik profilaksis dihentikan. Antibiotik profilaksis dilanjutkan hingga RVU sembuh, atau diperbaiki dengan operasi, atau usia anak telah dirasa cukup untuk dihentikan pemberian antibiotiknya. Pada umumnya anak-anak dengan RVU derajat I-IV, dan pada beberapa yang derajat V, diberikan pemberian antibiotik profilaksis dengan dosis ¼ dari dosis antibiotik terapi dan dilakukan pemantauan teratur. Pemeriksaan rutin yang perlu dilakukan adalah USG dan VCUG, atau RNC setiap 12-18 bulan. Jika pada pemeriksaan rutin ini tidak ditemukan adanya RVU, maka pemberian antibiotik dapat dihentikan.

Pada pasien ini diberikan terapi antibiotik preventif setelah ISK-nya berhasil diatasi dengan pemberian antibiotik terapi. Terapi antibiotik diberikan satu kali sehari. Dan setelah satu tahun diberikan terapi antibiotik profilaksis tidak ada lagi keluhan demam pada pasien.

Operasi

Keputusan untuk melakukan operasi anti-refluks berdasarkan berbagai pertimbangan, tidak hanya medis, tetapi juga sosial, dan emosional dari pasien serta keluarganya. Indikasi untuk operasi adalah sebagai berikut :

  1. Demam ISK yang telah diberikan antibiotik profilaksis.
  2. Refluks berat (derajat V atau derajat IV bilateral)
  3. RVU ringan atau sedang pada anak perempuan yang mulai dewasa setelah beberapa tahun dalam pengawasan.
  4. Kepatuhan yang buruk dalam pengobatan atau pengawasan, dan
  5. Pertumbuhan atau fungsi ginjal yang buruk atau tampak pembentukan scar yang baru.
Secara umum operasi bertujuan untuk rekonstruksi dari sambungan ureterovesika untuk menciptakan panjang yang ideal dari saluran submukosa menuju ureter yang berfungsi sebagai katup satu-arah pada fase pengisian VU.

Walaupun dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa operasi dapat menurunkan angka kejadian dari pielonefritis, akan tetapi penelitian random antibiotik profilaksis versus operasi ditambah antibiotik profilaksis tidak menunjukkan perbedaaan yang bermakna dalam terjadinya ISK tanpa demam, scar pada ginjal, atau gagal ginjal.

Pada pasien ini direncanakan operasi untuk memperbaiki fungsi dari katup satu-arah sambungan vesikoureter berdasarkan dari hasil renografi yang menunjukkan kedua ginjal masih berfungsi dengan baik. Namun hingga saat ini pasien belum menjalani operasi dengan alasan masih menunggu terjadi penyembuhan spontan.


Pemantauan 1,2

Anak-anak dengan terapi pengobatan biasanya diminta untuk kontrol setiap tahun. Evaluasi rutin termasuk urinalisis dan kutur urin, pencitraan, serta pengukuran tekanan darah. Setelah operasi, pasien diminta untuk kontrol 2 – 6 minggu kemudian untuk dilakukan USG atau sidik ginjal untuk mengetahui apakah ada obstruksi saluran kemih bagian atas. Pasien tetap melanjutkan antibiotik profilaksis sampai kontrol yang kedua 3 – 6 bulan pasca-operasi pada saat VCUG atau RNC dilakukan. Jika VCUG atau RNC menunjukkan adanya penyembuhan dari RVU, maka antibiotik profilaksis dihentikan, dan tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan invasif lainnya kecuali anak kembali mengalami demam pada ISK. Beberapa ahli tetap melakukan pengawasan secara periodik untuk pengukuran tekanan darah dan USG ginjal.

Pasien ini menjalani pemantauan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan VCUG. Sebaiknya pada pasien ini dilakukan pemantauan dengan teknik IRC karena tidak memberikan paparan radiasi yang tinggi dan tidak diperlukan kateterisasai ureter yang berisiko terjadinya ISK kembali pada pasien.


Prognosa 1,2

Pada refluks primer yang diterapi antara pengobatan dengan operasi menunjukkan bahwa keduanya memiliki hasil jangka panjang yang baik jika pengawasan dilakukan secara teliti dan kepatuhan dari pasien juga cukup baik. Pada pasien yang diterapi memiliki angaka kejadian untuk pielonefritis yang rendah. Pengobatan anak-anak dengan refluks sekunder menjadi tantangan tersendiri bagi dokter anak dan urologis. Perlu juga diketahui fungsi dari VU secara jelas.

Pasien ini memiliki prognosa duboi at bonam, karena telah dilakukan terapi antibiotik profilaksis. Dan prognosa akan menjadi lebih baik lagi bila operasi telah dilakukan untuk mengkoreksi kegagalan katup satu-arah dari sambungan vesikoreter. Sebaiknya pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan sidik ginjal dengan DMSA untuk mengetahui apakah pada pasien ini memiliki risiko untuk terjadinya hipertensi atau gagal ginjal di kemudian hari.


Simpulan

Diagnosa kerja dari pasien ini adalah RVU kiri grade IV dengan sistitis kronis berdasarkan dari hasil pemeriksaan radiologi VCUG. Diagnosa ini dikonfirmasi kembali dengan pemeriksaan IRC yang ditemukan hasil positif untuk RVU pada saluran kemih bagian atas kiri. Hal ini berdasarkan peningkatan aktivitas pada ginjal pada saat dilakukan proses berkemih. Penggunaan metode RNC dapat memberikan beberapa keuntungan selain juga terdapat beberapa kelemahan. Keuntungan yang paling utama adalah paparan radiasi yang relative lebih kecil bila dibandingkan dengan VCUG, membuat RNC dapat digunakan sebagai metode pemeriksaan pemantauan yang lebih baik bila dibandingkan dengan VCUG. Teknik IRC tidak perlu menggunakan kateterisasi ureter, sehingga nyaman bagi pasien dan petugas. Namun saat ini, penggunaan RNC sebagai metode diagnostik dari RVU belum banyak dikenal luas oleh para klinisi, sehingga pemeriksaan ini masih jarang dilakukan di bagian kedokteran nuklir RSHS.


Daftar Pustaka

  1. Cendron, Marc. Vesicoureteral Reflux. Updated Dec 15,2008. Tersedia dari : http://emedicine.medscape.com/article/439403-overview.
  2. Nelson PC, Koo PH. Vesicoureteral Reflux. Updated Sep 9, 2008. Tersedia : http://emedicine.medscape.com/article/1016439-overview.
  3. Hatch DA, Ouwenga MK. Pediatric Urology. Dalam : Henkin RE. Nuclear Medicine. Edisi ke-2. Philadelphia : Mosby Inc.;2006.h1089-1100.
  4. Payne SR, Testa HJ. Vesicoureteric reflux and ureteric disorders. Dalam : Maisey MN, Britton KE, Collier BD, penyunting. Clinical Nuclear Medicine. Edisi ke-3. London : Chapman & Hall; 1998.h425-432.
  5. Berrocal T, Gaya F, Arjonilla A, Lonergan GJ. Vesicoureteral Reflux : Diagnosis and Grading with Echo-enhanced Cystosonography versus Voiding Cystourethrography. RSNA. 2001 Nov;221(2):359-365.
  6. Mahsjur JS, Kartamihardja AHS. Bagian Kedokteran Nuklir Rumah Sakit Hasan Sadikin. Buku Pedoman Tatalaksana Diagnostik dan Terapi Kedokteran Nuklir, RSHS, FK Univ Padjadjaran. Bandung.1999.
  7. The European Association of Nuclear Medicine. Guidelines for Indirect Radionuclide Cystography. Tersedia : http://www.eanm.org/scientific_info/guidelines/gl_paed_irc.pdf
  8. The European Association of Nuclear Medicine. Guidelines for Direct Radionuclide Cystography. Tersedia : http://www.eanm.org/scientific_info/guidelines/gl_paed_irc.pdf
  9. The Society of Nuclear Medicine. The Society of Nuclear Medicine Procedure Guideline for Radionuclide Cystography March 2003. Ver.3.0 Jan 25, 2003. Tersedia : interactive.snm.org/docs/pg_ch32_0703.pdf
  10. Sukan A, Bayazit AK, Kibar M, Noyan A, Soyupak S, Yapar Z, Anarat A. Comparison of direct radionuclide cystography and voiding direct cystography in the detection of vesicoureteral reflux. Ann of Nucl Med. 2003;17:549-553.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar